Saya mengenalnya sebagai Jo, begitu saja tanpa tahu nama aslinya. Pada beberapa kemungkinan, saya tebak, bisa saja dia tidak berdusta---bisa saja ia memang bernama Jo, cukup begitu, tak ada embel-embel lainnya. Namun, akal sehat saya masih berjalan dengan baik, maka saya tak langsung percaya ketika ia memperkenalkan dirinya cuma sebagai Jo---Jo dengan pelafalan 'o' yang ditekankan dan perlahan mengawang, membentuk semacam perasaan ngilu di kerongkongan.
Barangkali (alam bawah sadar saya diam-diam mulai berspekulasi), pada hari-hari awam, ia bernama Joshua (atau Jonny, Jonathan, dan Jo-Jo lain yang enak didengar). Di sisi lain, bisa saja, ia sebenarnya berasal dari tengah desa dan biasa dipanggil Joko (suku -ko yang melekat di empat-huruf namanya mesti ia hilangkan agar alibinya tak ketahuan). Tetapi, tak cukup di sini, saya rasa, masih ada kemungkinan bahwa (lagi-lagi bisa saja) nama aslinya sama sekali tak mengandung unsur 'Jo'. Mungkin Andi, atau Surya, atau Parmin, atau bahkan lembar kosong yang terlupa, dan Jo sekedar kamuflase tak berdosa yang ia kenakan di hadapan saya---toh, toh, tak mengapa.
Sebab rupanya, tanpa dapat dicegah, saya sudah lumayan puas mengenalnya sebagai Jo---hanya Jo dan Jo sa-ha-ja, meski tak perlu saya jelaskan alasannya.
****
(salah satu sudut Yogyakarta yang saya sukai.)
Kemarin malam, saya menginap di kontrakan salah satu teman kuliah berinisial A---barengan dengan teman kuliah lain yang berinisial T. Ya, pendeknya, semacam sleepover versi pas-pasan, gitchu. Layaknya mahasiswi tingkat empat (atau sebenarnya, wanita) pada umumnya, malam itu kami membicarakan banyak hal, mulai dari pelajaran, dosen, perkembangan gosip di hiburan tanah air, cinta, hingga pernikahan.
Deg.
Pernikahan, sewaktu mendengar kata ini, pikiran saya sesaat melompat ke beberapa tahapan ke depan. Jujur, dulu saya paling semangat jika diajak bicara soal pernikahan. Saya bayangkan, sungguh bahagianya, membangun keluarga cepat-cepat dan menjadi seorang Ibu dalam hubungan yang sah. Sayangnya, semakin ke sini, persepsi idaman saya itu semakin terasa hambar---luntur---lalu titik terang itu seolah memukul saya pelan-pelan---cukup pelan untuk tidak menimbulkan pikiran larut yang membuat malam sleepover saya mendadak kusut---tapi tetap saja, di pagi harinya, saya kembali tersadar: tahun ini saya akan memasuki pengulangan dasawarsa yang kedua.
Saya rupanya sudah mulai tua.
****
(Ini kare Jepang buatan saya, dan jangan harap rasanya aman di lidah anda.)
Ketika saya bilang bahwa saya tumbuh dengan masakan Ibu, sungguh, saya tidak berbohong. Sejak kecil, saya jarang makan di luar---hanya sesekali jika ada kegiatan sampai sore di sekolah dan Ibu kebetulan sedang tak membawakan bekal. Jujur saja, saya baru sering jajan sejak kuliah. Itu pun, 'sering'-nya saya tidak sebanding dengan 'sering'-nya kawan kuliah lain. Ya wajar, sih, saya di Jogja toh ada rumah, ndak ngekos, ndak jauh dari orangtua, tapi tetap saja.
Tapi tetap saja.
Saya alergi, alergi segala macam makanan laut dan makanan sungai, itu sudah bukan rahasia. Setiap saya iseng jajan di luar, memesan satu porsi udang goreng tepung, takoyaki, sushi, ikan bakar, atau cumi asam manis, malamnya bintik-bintik merah panas nan gatal pasti mulai muncul di tangan kanan saya---pasti di sebelah kanan terlebih dahulu, entah apa sebabnya. Lucunya, lain kali, jika Ibu yang memasak segala macam makanan amis itu di rumah, saya tidak merasakan gejala alergi sedikit pun. Kalau pun ada, dibasmi sebutir CTM juga langsung sembuh. Saya ingat, dulu Ibu sampai pernah membuat empek-empek sendiri---pakai campuran udang, ayam, serta tengiri---agar saya tetap bisa menikmati kuliner asal Palembang itu tanpa harus berobat keesokan harinya.
Iya, saya dimanja. Iya, saya anak bungsu kesayangan keluarga---karenanya cara bicara saya kadang ngeselin, saya tahu (meski ada beberapa juga yang bilang itu unyu, he). Kakak saya bahkan pernah berkata begini sambil bercanda, "Kalau dulu kamu jadi kuliah di Teknik Geofisika ITB, nggak kebayang, lho, pasti kamu jadi kurus, terus alergimu gampang kambuh."
Lalu ketika saya pikir ulang, benar juga.
Saya rupanya, sekali dalam seumur hidup, memang tak salah ambil pilihan.
"Eh, tapi, gimana, kuliah di Teknik Kimia gampang atau susah?"
... Atau tidak sama sekali.
****
It was supposed to be me, dengan gaya rambut terbaru dan ekspresi wajah muram, namun saya menggambarnya terlalu cantik (yang mana sungguh ironis) lalu ini saya jadikan karakter lain sekalian.
***
Minggu ini minggu sedih, minggu melankolis.
Minggu lalu pun sebenarnya sama saja, dan kelihatannya minggu depan juga.
Tapi minggu ini saya menangis---air mata yang tertahan sudah dari empat belas hari lalu tumpah ruah, banjir, saya biarkan lepas, saya biarkan merdeka. Ada mungkin satu-dua jam saya menangis waktu itu, bersembunyi di bawah selimut MU tebal sembari menyengguk dan menggumamkan lenguhan lewat bahasa yang hanya mampu saya mengerti. Selanjutnya, kalau tidak lupa, saya tertidur, lama sekali. Ketika terjaga, yang saya rasakan pertama-tama adalah lega yang luar biasa. Lega yang, anda paham, seakan ditarik naik melewati pangkal ubun-ubun bersama akar-akarnya hingga tak lagi meninggalkan sisa---namun hal ini sayangnya tidak berlangsung lama.
Sebab sekonyong-konyong, dua pasang mata saya kembali berair---sebab pada akhirnya, saya tetap saja seorang wanita.
Location: Yogyakarta
Yogyakarta, Indonesia
Popular Posts
-
Belakangan, lagi kumat (ndak tahu untuk yang keberapa kalinya) dengerin lagu lama yang sempat saya sukai semasa rentang SMP dan SMA, ...
-
Saya suka musik Jepang, bermula dari kesenangan saya menyaksikan anime sedari kecil. Yah, waktu itu ayah saya jauh di Malaysia, Ibu mesti...
-
Mungkin karena pada kenyataannya, saya akui, saya ini tipikal yang tak pandai berbicara, terlebih kepada orang yang tak begitu dekat. "...
-
Mulanya, saya tergelitik untuk menulis artikel countdown ini sebab, semakin hari, saya mendengar semakin banyak anomali yang mengat...
-
Hujan identik dengan perasaan mellow dan romantis---itu yang ada dalam benak saya. Setiap hujan turun, bawaannya pasti pengen muter lagu ga...
-
Selamat datang, Desember. Belakangan, Jogja terus-terusan diguyur hujan, terkadang pagi, terkadang siang, terkadang malam. Tidak masal...
-
Saya mengenalnya sebagai Jo, begitu saja tanpa tahu nama aslinya. Pada beberapa kemungkinan, saya tebak, bisa saja dia tidak berdust...
-
Tadi siang, di kelas Matematika, saya tanpa sadar telah menggambar gadis ini di tepi lautan rumus dan simbol abstrak yang sedang terlibat p...
-
"Banyak orang yang memperlakukan kami seolah-olah kami adalah jenis manusia yang mesti dihindari. Padahal, Mbak, kami tidak jauh berb...
-
Aku heran, mengapa mereka tak pernah mengungkapkan di literatur-literatur yang beredar bahwa aku, Gadis Bertudung Merah, sebenarnya bukan ...
Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.
Leave a Comment