Gadis Bertudung Merah dan Serigala (Part. 2)


Aku heran, mengapa mereka tak pernah mengungkapkan di literatur-literatur yang beredar bahwa aku, Gadis Bertudung Merah, sebenarnya bukan perempuan baik-baik. 
Atau setidaknya begitu, semenjak aku sadar bahwa aku telah jatuh hati kepada serigala bertaring gerigi, bermata rubi, dan berbulu anyaman serat nilam.







Gadis Bertudung Merah dan Serigala

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai jatuh tertidur dan memimpikan apa yang tak seharusnya. Dalam mimpi tak berjudul dan remang-remang itu, aku berperan sebagai Gadis Bertudung Merah dengan pipi merona, dengkul mengkilap warna cokelat-keemasan, serta mata biru laut, begitu biru sampai-sampai kau akan bertanya apakah beberapa sirip ikan (sebab mereka tak berekor, sepengetahuanku) juga sempat tinggal di dalam sana. Pendeknya, dalam mimpi itu, aku adalah Gadis (Remaja) Bertudung Merah berwajah rupawan yang tengah menempuh jalan setapak di dalam hutan demi menjenguk nenek rentanya yang tergolek sakit tak berdaya, menunggu penyerahan nyawa.

Tapi aku tekankan sekali lagi bahwa remaja menawan ini sesungguhnya bukan gadis yang baik, sebab diam-diam aku telah jatuh cinta dengan seekor serigala gila namun jelita yang tiba-tiba muncul di balik semak-semak dan coreng-moreng dahan akasia, menampakkan wujudnya yang tak mengenakan sepatu pantofel itu secara blak-blakan di sekian inci mataku yang belia.

"Rumah nenek," aku mendengar mulutku bergerak sendiri, "di balik bukit seusai jalan setapak."

Sampai di sini, aku tak lagi paham, mengapa harus ada pemburu bersenapan pada cerita Gadis Bertudung Merah dan Serigala yang diceritakan orang-orang---astaga, aku bahkan tak paham mengapa tokoh nenek itu harus ikut ambil bagian (mengapa ia tak terbaring diam di ranjang saja, tidur manis seraya menunggu ibu  menjenguknya begitu percintaannya dengan ayah di taman belakang usai) sebab pada kenyataannya, atau, pada alam imajiku yang terjaga, kisah ini seharusnya hanya milik kami berdua.

Hanya aku dan si serigala gila, tak kurang, tak lebih.

****

Hujan baru saja reda, dan sewaktu aku membuka sepasang mataku kembali, yang kulihat adalah sesosok laki-laki dengan celana belel, dua kaki tak berpantofel, rambut brunette, dan mata abu-abu nyaris keperakan. Nah, nah, aku baru tahu bahwa di bawah purnama, ia akan kehilangan seluruh bulunya---dan ia rupanya jauh lebih tampan dari yang pernah kubayangkan di kala ketaksadaranku barusan---namun tak ada yang dapat merubah fakta bahwa ia tetaplah serigala, serigalaku yang membawa rintik air dan menahan langkahku untuk terdiam di sisi terdalam hutan.

Serigala, serigala, mengapa kau adalah seekor (seorang) serigala?

"Tidak sesederhana itu," ia menampik, "serigala yang tampan---tampan, desisnya---kau tak boleh melupakan hal sekrusial ini."

Itu dan ini, mana yang benar? Kau menggunakan dua kata penunjuk berlawanan dalam sekali ucap, seperti Yin dan Yang yang tak dapat membentuk lingkaran, meluber menjadi kotak tak beraturan.

"Mereka bilang wanita selalu membicarakan hal-hal tak masuk akal," ia berujar lagi, melahirkan huruf-huruf ke ranjang udara, "kurasa apa yang mereka katakan memang benar."

Tidak, tidak, kau salah besar, aku bukan wanita.

"Lantas, perempuan?"

Hampir, tapi tak sepenuhnya benar.

"Jangan memaksaku memanggilmu gadis (mentang-mentang dalam mimpi ini kau memang berperan sebagai Gadis Bertudung Merah yang, dalam cerita ibu-ibu desa sebelum menidurkan anaknya, tak lain dan tak bukan adalah gadis licik yang memposisikan dirinya sebagai korban dari kelaparanku---seolah-olah dalam hikayat penuh lelucon ini aku mesti mati konyol, sementara kenyataannya, kau sebenarnya telah jatuh cinta kepadaku dan mengikutiku ke dalam bagian tergelap hutan, berlindung dari cahaya bulan dan melupakan nenekmu yang barangkali saat ini tengah menonton reklame sabun mandi bersama pemburu bersenapan secara sembunyi-sembunyi) sebab aku tak ingin berakhir mirip Humbert dan Lolita, dan aku harus menyaksikan dunia melambaikan kelima jarinya kepadaku sementara kau hidup bahagia."

Tunggu, tunggu dulu, aku mendengar gumamanmu soal nenekku---aku akan melaporkanmu kepada ibu sesampainya di rumah nanti.

"Nanti? Kau akan pulang secepat itu?" ia berteriak dengan kehenyakan yang dibuat-buat. "Demi Tuhan, kenapa tidak sekarang saja? Paling tidak aku dapat bernapas lega setelahnya."

Maksudku, tidak, bukan sekarang, hari masih malam (dan purnama masih utuh, kau lihat?), dan kalau kau ingin bernapas lega, mengapa kau tak membuangnya ke dalam mulutku saja? Aku akan menghisapnya dengan senang hati, kemudian---

"Sudah kukatakan, aku tak ingin menjadi Humbert, dan kau mencampurkan hari serta malam dalam waktu yang bersamaan---"

Kau bukan Humbert, mengerti? Dan aku bukan Lolita! Usiaku tiga tahun di atas dua belas, dan aku sudah memiliki---

"Hormon kewanitaan?" ia memicingkan sepasang matanya yang sarat aura lelaki. "Apa itu yang ingin kaupamerkan padaku sampai-sampai kau melupakan pesan ibumu untuk menjenguk nenekmu yang---hei, apakah aku perlu mengungkit soal nenekmu sekali lagi agar kau cepat pulang?"

Sayangnya tidak, serigala malang.

Justru, aku semakin ingin tetap tinggal.


Yogyakarta, 2012

To be continued


Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers