One More Time, One More Chance: My Not-So-Short-Thoughts on 5 Centimeters Per Second Movie


Yesterday, I saw a dream.
... A dream about the past.
In that dream, we were still 13 years old, and we were in a wide, snowy, empty field. The light that came from the houses looked dim and so far away, only our tracks were on the road we passed. With that scenery, someday, we will see the cherry blossoms together.
Once again: he and I, without a single doubt.
That's what we thought.




****

"Lima sentimeter per detik, seperti itulah kelopak bunga sakura jatuh, melawan levitasi, mengikuti gravitasi."

Saya adalah tipikal perempuan yang mudah menangis, termasuk saat melihat film (film yang saya tonton sendiri sebagian besar merupakan animasi). Tak terhitung berapa banyak judul film yang sudah saya tangisi, leburan air mata dan kental ingus melekat pada helai rapuh tisu, tergeletak di mana-mana. Up!, misalnya, termasuk salah satu dari ber-entah-sekian film produksi Barat yang tak pernah gagal membuat saya mewek, terlebih adegan-adegan di mana kehidupan rumah tangga kakek tua dan mendiang istrinya itu diputar ulang---lupakan kisah cinta rumit dan setengah masochist a la Twilight Saga, adegan manis film Up! yang bahkan tak sampai sepuluh menit ini menyisakan lebih banyak kesan di hati saya ketimbang empat babak movie yang sampai sekarang masih belum bisa saya mengerti di mana letak istimewanya.

Satu film dalam negeri yang bisa dikategorikan penguras air mata barangkali adalah Pasir Berbisik, dan tentunya Sang Penari yang baru tahun 2011 lalu dirilis---sebuah film yang diangkat dari salah satu karya sastra Indonesia kesayangan saya, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari---meski saya masih lebih prefer membaca dan merasakan feel yang ada dalam novelnya---sebagaimana saya jauh, jauh, lebih menyukai novel Perahu Kertas ketimbang usungan filmnya, yang mana Kugy bahkan melesat 180 derajat dari bayangan saya. Oh, ya, Laskar Pelangi, Naga Bonar Jadi 2, Berbagi Suami, Eliana Eliana, Gie, Denias, dan Minggu Pagi di Victoria Park, juga dapat dipertimbangkan.

Tapi kita tak boleh melupakan Ghibli. Yap, studio Ghibli dengan karya-karyanya yang mencengangkan, bahkan disebut-sebut sebagai Disney milik Asia. Selalu saya berandai untuk, suatu saat nanti, merampungkan sebuah cerita anak-anak yang dapat difilmkan oleh studio milik negara matahari ini. Ghibli yang dinahkodai oleh Hayao Miyazaki-sensei memang terkenal lewat ide pun jalan cerita yang unik, imajinasi tak terbatas, detail sempurna bahkan sampai ke hal-hal yang sangat kecil, dan soundtrack-soundtrack karangan maestro Joe Hisaishi yang memang patut diacungi dua, ah tidak, empat jempol. Lihat saja salah satu karyanya yang dikenal hingga penjuru dunia, Spirited Away, atau Sen no Chihiro dalam bahasa Jepangnya, kisah petualangan fantasi mengenai seorang anak perempuan yang masuk ke dunia roh dan berusaha mempertahankan namanya agar ia dapat kembali ke dunia nyata sembari menyelamatkan kedua orangtuanya yang dikutuk menjadi sepasang babi---bagaimana sebuah nama menjadi kunci utama film berdurasi dua jam sekian menit ini, sebuah nama yang tak pernah kaubanggakan sebelumnya tiba-tiba saja menjadi bagian terpenting yang harus kaupertahankan agar ia tak pudar, agar eksistansimu tak hilang.



Ghibli memang luar biasa, di balik animasi manis yang dibungkus alur rapi nun berkelak-kelok di beberapa bagian, ia menyimpan beberapa filosofi kehidupan yang kadang tak terpikirkan. Tetapi, Ghibli tak selamanya menghadirkan film-film animasi berbumbu fantasi. Ada beberapa karya mereka yang lurus, berpegang pada realita. Saya sendiri bukan penggemar berat film animasi yang mesti direalistiskan-serealistis-realistisnya, namun Ghibli mampu menyajikannya dengan kesan teramat lain, lewat cara yang, kalau saya katakan, sangat Ghibli sekali. Whisper of the Heart, Only Yesterday, Grave of The Fireflies, dan From Up on Poppy Hill, adalah karya-karya Ghibli yang tidak atau sangat sedikit sekali mengandung unsur fantasi. Nah, berbicara mengenai film animasi minim fantasi keluaran negara matahari terbit, rupanya, karya-karya Ghibli yang sudah saya sebutkan di atas mesti rela mengalah dengan salah satu karya CoMix Wave Inc. yang begitu tersohor.

Apalagi kalau bukan 5 Centimeters Per Second.


****


Cherry Blossoms, Cosmonaut, 5 Centimeters Per Second.




Saya termasuk orang yang memiliki perasaan lemah. Oleh karena itu, tatkala saya pertama kali menyaksikan film ini, sekitar pertengahan kelas 1 SMA, saya buru-buru berhenti di tengah, sebab sebagian diri saya takut dan berani memprediksi jika saya tak kuat melihatnya. Ya, film pendek yang terdiri dari tiga chapter ini memang penuh dengan aura depresif. Mungkin tidak akan masalah jika anda adalah orang yang kuat hati dan perasaan serta tak gampang menangis, namun saya sama sekali bukan. Selang beberapa minggu, saya akhirnya memutuskan untuk menonton film ini hingga usai, menghayati setiap adegannya yang penuh potongan-potongan gambar nyaris nyata, bahkan dengan kadar keindahan berlebih. Hasilnya?

Saya menangis, tak singkat.

Film ini memang cantik, begitu cantik. Makoto Shinkai memang terkenal lewat sajian gambar yang berkualitas di atas rata-rata ketimbang jalan cerita yang menakjubkan dan akan selalu diingat. Benar, jalan cerita di film ini memang biasa, tak istimewa. Setiap adegan yang ada pada  5 Centimeters Per Second bisa terjadi kapan saja di dunia nyata, pada siapa saja, dan di mana saja. Namun justru itulah, esensi yang ingin ditawarkan oleh Makoto Shinkai tersampaikan dengan baik, sebab kisah antara Takaki dan Akari memang sedari awal dirancang sebagai kisah yang lumrah, yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari. Kisah ini bisa saja terjadi pada sahabatmu, atau tetanggamu, atau orang yang secara singkat kautemui di jalan sepulang dari kuliah, atau orang yang kautabrak di stasiun, atau orang yang berada di sebelahmu saat menunggu lampu merah, atau siapa pun, bahkan kau sendiri, tanpa sadar.

Secara pendek, 5 Centimeters Per Second merupakan film berdurasi sekitar satu jam yang terbagi atas tiga episode: Cherry Blossoms, Cosmonaut, dan 5 Centimeters Per Second itu sendiri. Cherry Blossoms merupakan pemula, awal cerita, mengenai kedekatan Takaki dan Akari yang, saat itu, masih belum kehilangan kontak. Tumbuh menjadi dua anak bertubuh kecil yang pemalu, Akari dan Takaki tak dapat menampik bahwa mereka, lama-kelamaan, menemukan kecocokan satu sama lain. Kecocokan ini berlanjut menjadi sebuah persahabatan, sampai mereka menemukan bahwa, ternyata, memang ada banyak hal yang seakan menjadi benang merah di antara mereka, bermacam kesamaan yang membuat mereka semakin merasa terikat, sehingga perasaan mutual itu pun akhirnya muncul: sebuah cinta belia yang tak berdosa, malu-malu, namun mesti rela dipisahkan oleh meter jarak, empat musim, dan puluhan stasiun kereta.

Cinta pertama yang tak berakhir mulus---bahkan masing-masing dari mereka pun sebenarnya tak pernah berpikir bahwa ikatan di antara mereka akan berakhir bahagia, sebab entah dapat bisikan dari mana, jauh di lubuk hati mereka, baik Akari maupun Takaki sama-sama tahu bahwa, pada suatu hari nanti, mereka akan terpisah, dan kisah ini mesti usai, berakhir, ditamatkan.

Dan memang benar adanya.

Adegan lantas berlanjut ke Cosmonaut yang notabene merupakan adegan termanis dari seluruh scene yang ada di film ini. Cosmonaut mengisahkan tentang Takaki yang kini tinggal di Tanegashima, tak lagi memiliki kontak antara dirinya dengan Akari. Di tempat tinggalnya yang baru, Takaki kembali terlibat kisah asmara, meski kali ini kisah asmara yang terbentuk hanyalah sepihak. Kanae Sumida, gadis yang kebetulan berada di kelas yang sama dengan Takaki, telah menyukai pemuda berjiwa kosong itu secara sebelah tangan. Jujur saja, saya pribadi paling menyukai sosok Kanae dalam 5 Centimeters Per Second, ia bagaikan karakter yang benar-benar hidup dan saya seakan mampu membayangkan perasaannya---menyukai lawan jenis yang bahkan tak melirik seinci pun pada dirimu, melainkan terus melempar pandangan tak terbaca ke suatu tempat yang jauh, tak terjangkau.

Tapi gadis ini tak keberatan, ia tak keberatan sama sekali.

Saya suka bagaimana sosok Kanae berkembang di Cosmonaut. Ia yang mulanya gadis pemalu, berubah menjadi gadis ceria yang mendalami surfing. Di sisi lain, Kanae juga menunjukkan sisi manusiawinya di saat ia tak mengerti meski melakukan apa di masa depannya, atau di saat ia menangis sebab ia tahu bahwa ia mencintai Takaki teramat dalam, tanpa alasan yang jelas, sementara laki-laki itu bahkan tak pernah memandangnya. Padahal ia berada di sampingnya, padahal ia berjalan di depannya, dan padahal ia bernapas di hadapannya, namun ia seolah tak hadir, seolah tak menyisipkan jiwanya, ditambah kenyataan bahwa Takaki selalu terlihat menulis email yang tak pernah dikirimkan kepada dirinya---later, terungkap bahwa Takaki bahkan tak mengirimkan email itu kepada siapa-siapa.

Lalu kita akhirnya sampai pada episode final, yaitu 5 Centimeters Per Second.

Takaki terlihat amburadul di episode ini, seperti tokoh mati yang tak memiliki jiwa hidup. Tak banyak kata yang dituliskan oleh Makoto Shinkai, namun saya mampu merasakan nuansa sesak yang menyelimuti bagian final ini lewat raut muka kedua pemeran utama (Akari dan Takaki) serta kelebatan-kelebatan pemandangan yang dihadirkan: musim salju. Menyedihkan bagaimana Akari telah bergerak maju dengan hidupnya, bersiap menyongsong pernikahannya, berjalan bahagia dengan tunangannya, sementara Takaki mesti mengakhiri hubungannya dengan wanita yang telah ia kencani selama tiga tahun---wanita timid dengan mata sayu yang beranggapan bahwa hubungan di antara mereka mesti dikandaskan sebab ia tahu, ia paham, ia menyadari bahwa, selama tiga tahun ini, Takaki tak pernah sekali pun benar-benar mencintainya. Nama kekasih Takaki ini memang tak disebutkan, dan bahkan ia hanya muncul selama beberapa menit di sepercuil adegan singkat, namun ia cukup menerenyuhkan hati saya---lagi-lagi, seperti Kanae, saya seakan mampu memahami perasaannya.

Point plusnya, di episode ini, akhirnya penonton dapat mengetahui point of view Akari yang disembunyikan semenjak Cherry Blossoms. "Tadi malam aku bermimpi, sebuah mimpi tentang masa lalu..."

Lantas adegan yang paling menguras air mata pun datang, sewaktu lagu One More Time, One More Chance mulai dimainkan.

I am always searching somewhere for you 
Opposite of the house, the other side of the alley's window ---even though I know you won't be here.



"Suatu hari nanti, kami akan melihat bunga sakura bersama lagi: aku dan dia, pasti."




Bagaikan jawaban atas sebuah doa yang lama tertunda, mereka pun bertemu kembali, di suatu persimpangan rel kereta api dan bunga sakura berguguran.

Mimpi itu terpenuhi---kami akan melihat bunga sakura bersama lagi, suatu hari, aku dan dia, pasti.

Namun sewaktu mereka menyadari kehadiran satu sama lain, sialnya, palang kereta telah ditutup. Takaki menanti hingga semua kereta yang ada lewat, lesap, menyisakan asap hitam mengebul di udara.

Takaki menanti, namun Akari tidak.

Sewaktu semua kereta berlalu, yang ia temui di ujung seberang palang kereta hanyalah jalanan kosong, helai sakura yang terhembus angin sisa musim dingin, dan bayang-bayang Akari yang bahkan sudah tak ada di sana lagi.


****

Namun senyuman itu muncul di wajah Takaki, tulus, seakan ia mengerti bahwa Akari sudah berjalan dengan hidupnya sendiri, bahwa apa yang telah terjadi sebelum-sebelum ini adalah masa lalu yang tak semestinya terus ia gandrungi.

Sebuah akhir tak terduga dan begitu nyata---saya mesti  kembali mengelap air mata.

****


I am always searching somewhere for your fragment

At the destination's shop,

at the corner of the newspaper---even though I know you won't be there.

If miracle was to happen, I want to show it to you right now

A new morning, myself

And the "I love you"

Which I couldn't say


Luar biasa bagaimana Makoto Shinkai menggunakan adegan-adegan bisu di sebagian besar film ini, sekedar menyajikan gambar tanpa dialog yang diikuti perubahan raut wajah karakternya, dan ajaibnya kesan yang ingin ia katakan tercapai secara sempurna, tak kurang tak lebih, pas, sesuai kadarnya. Menonton film ini mengingatkan saya akan kenangan sewaktu saya masih kanak-kanak di Pekan Baru---mungkinkah ada seorang lelaki yang pernah saya janjikan sebagian masa depan saya, dan seperti apakah wajahnya, apakah ia masih mengingat saya sebab saya sudah tak menyimpan memori apa-apa mengenai dirinya lagi, dan jika memang iya, maka saya jahat sekali, sebab saya telah bahagia dengan hidup saya yang sekarang, sementara ia menyimpan janji saya untuk kembali ke kota itu lagi, menemuinya, menyandang nama belakangnya, menyebutkan kata-kata yang serupa lima sentimeter per detik soal guguran bunga atau barangkali guguran uban Bu Guru.

Tapi saya tahu hal itu tak mungkin terjadi.

Tak mungkin untuk sejauh ini.


Yogyakarta, 2012


Comments
One Response to “One More Time, One More Chance: My Not-So-Short-Thoughts on 5 Centimeters Per Second Movie”
  1. mb, sbnrnya saya jg msh nyari2 cinta pertama saya.. sampe sekarang saya udh kerja.. dia dan saya bertemu sejak 2 SMP lampau.. hmm entahlah mungkin sperti kisah diatas mb.. saya mencari di rumahnya yg lama, menghubungi kontak2 yg bs dihubungi tp tak membuahkan hasil.. tp saya disini ttp move on walaupun sampai saya mati mgkn sedikit hati saya masih akan mencarinya...

    oh y mb, email ke saya dong film2 anime realistis seperti ini lg.. ke : angsaqu@yahoo.com

    Terimakasih, Febriansyah,Mr

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers