Minggu Sedih




It was supposed to be me, dengan gaya rambut terbaru dan ekspresi wajah muram, namun saya menggambarnya terlalu cantik (yang mana sungguh ironis) lalu ini saya jadikan karakter lain sekalian.

***

Minggu ini minggu sedih, minggu melankolis.

Minggu lalu pun sebenarnya sama saja, dan kelihatannya minggu depan juga.

Tapi minggu ini saya menangis---air mata yang tertahan sudah dari empat belas hari lalu tumpah ruah, banjir, saya biarkan lepas, saya biarkan merdeka. Ada mungkin satu-dua jam saya menangis waktu itu, bersembunyi di bawah selimut MU tebal sembari menyengguk dan menggumamkan lenguhan lewat bahasa yang hanya mampu saya mengerti. Selanjutnya, kalau tidak lupa, saya tertidur, lama sekali. Ketika terjaga, yang saya rasakan pertama-tama adalah lega yang luar biasa. Lega yang, anda paham, seakan ditarik naik melewati pangkal ubun-ubun bersama akar-akarnya hingga tak lagi meninggalkan sisa---namun hal ini sayangnya tidak berlangsung lama.

Sebab sekonyong-konyong, dua pasang mata saya kembali berair---sebab pada akhirnya, saya tetap saja seorang wanita.

****

Semua berawal dari satu porsi siomay yang saya beli di pasar belakang rumah.

Iya, semangkuk siomay---yang hari selanjutnya bersambung ke empek-empek, sushi, sukiyaki kuah tomyam, dan entah apa lagi hingga akhirnya alergi saya kambuh. Alhasil, saya pun ke dokter, diberi tiga bundel obat, tidak mempan, lantas kembali ke sana, diberi suntikan, salep, sebundel antibiotik, sembuh, dan terkena demam.

Meski sudah batuk-batuk kecil saat alergi tengah kumat, namun demam parah itu baru sepenuhnya menguasai tubuh saya sesaat setelah alergi saya sembuh. Pikir saya saat itu, "Oh, kalau dikaji ulang, barangkali ini hukuman karena saya sudah melanggar janji kepada Ibu untuk tidak (diam-diam) jajan makanan berbahan seafood (yang berarti mendatangkan bercak-bercak merah di kulit saya dengan sengaja)."

Sayangnya, karena sebelum kejadian ini saya sudah lebih dulu dinyatakan gejala DB (dan pada akhirnya hasilnya negatif) dan beberapa kawan kuliah memang sudah ada yang terkena, saya pun agak was-was. Saat hasilnya menunjukkan negatif, tentu saya bahagia dong, harus dirayakan dong, dan saya merayakannya dengan tetap mengonsumsi air putih dingin dan sedikit es krim tanpa memedulikan demam yang kian menjadi. Sudah begitu, saya masih cuek. Anggapan saya, ah, kalau antibiotiknya habis, pasti sembuh.

Sayangnya, saya lupa bahwa asumsi saya lebih sering salah ketimbang benar, maka jadilah UTS semester ini merupakan UTS paling menyiksa yang pernah saya alami semasa kuliah. Saya tidak ingin mengingat bagaimana saya harus menulis jawaban sekaligus menutupi hidung dengan belasan lembar tisu agar ingus saya tidak mbeler, bagaimana saya tidak dapat tidur maupun belajar saat malam karena napas saya buntet, dan bagaimana suara batuk saya sepertinya mengganggu ketenangan kelas ujian... Sebenarnya (sepertinya) masih ada banyak lagi kenangan pahit UTS semester ini, namun yang jelas, tiba-tiba hari Rabu di minggu kedua datang dan tahu-tahu UTS saya selesai dan saya langsung berlari pulang penuh kemenangan, ketiduran di bis dengan wajah ditutup empat tumpuk tisu, terbangun tepat di tujuan, kembali tidur di atas jemputan, dan... dan saya tak bisa mengingat apa-apa lagi kecuali suara Sufjan Stevens yang saya putar dari laptop, samar-samar, serta kelopak mata saya yang memberat.

Esoknya, saya berobat lagi. Karena belum ada indikasi mencurigakan, saya berobatnya ya, mau nggak mau, ke dokter umum. Setelah la la la la la, saya dinyatakan demam, diberi tiga jenis obat tanpa antibiotik, dan disuruh bedrest---saya sih mengiyakan saja, walau hari Sabtunya sempat ngeloyor sebentar untuk ikut kunjungan ke BakpiaPia. Oh iya, saya juga sempat potong rambut, sebahu, meski agak eman-eman juga karena memanjangkannya butuh waktu lama---tapi saya pikir, toh, kan saya pakai jilbab, jadi buat apa terlalu panjang yak, malah bikin gerah. Nah, pucuk dicinta ulam pun tiba, kebandelan saya ternyata harus menelan sangsi.

Awalnya, kecurigaan saya datang dari lamanya masa pilek yang saya derita. Batuk saya sudah lumayan hilang, beruntungnya, setelah 2 minggu lebih bersarang di tubuh saya, namun ingus saya masih tetap saja terproduksi. Bukan hanya itu, saya sama sekali nggak bisa mengecap rasa dan mencium bau-bauan, ditambah warna mukus berubah jadi kuning pekat kenyal-kenyal, ehehe. Tapi, yang paling menyakitkan adalah rasa sakit nyut-nyut yang timbul di sekitar pipi, tulang mata, hidung bagian atas, dan dahi selama dua hari berturut-turut yang diiringi sakit kepala konstan. Gerah, saya pun googling soal hal ini. Jawabannya... saya mungkin terkena sinusitis, sinusitis sphenoidalis tepatnya. Menjadi saya yang ngeyelan seperti biasanya, tentu, saya ndak mau langsung percaya. Hanya saja, rasa nyut-nyut yang makin menekan membuat saya hilang kesabaran, dan setelah saya bicarakan dengan keluarga, akhirnya saya mencoba menyambangi dokter THT di R.S. B*******.

Bingo, Dokter X (inisial dipalsukan) yang memeriksa saya sore itu menyatakan bahwa saya positif terkena sinusitis.

Saya hanya mampu melongo.

Saya semakin melongo begitu dokter paruh baya itu tersenyum penuh makna. Pelan-pelan, beliau mengambil semacam tiruan sistem Telinga-Hidung-Tenggorokan manusia dan menjelaskan asal mula munculnya penyakit saya dan bagaimana ia bisa mendatangkan sakit kepala konstan dan rasa nyut-nyut di sekitar dahi, mata, juga pangkal hidung, dengan amat-sangat-sabar-dan-detail. Di akhir penjelasannya, beliau menambahkan, "Mbak Aya nggak usah takut, masih tahap acute kok, asal nurut saran dokter selama masa terapi, pasti bisa sembuh."

"Kalau nggak sembuh juga, bagaimana, Dok?"

Sang Dokter lagi-lagi tersenyum lembut, kemudian berujar, "Yang pasti kita coba dulu langkah ini untuk dua hingga tiga minggu ke depan, Mbak Aya harus positif dan yakin bisa sembuh."

Saya terhanyut :')

Anw, singkat cerita, dibayangi senyum sang dokter yang enggan pergi, saya pulang membawa lima jenis obat, di mana yang satu merupakan spray hidung yang terbuat dari air garam (botolnya sih menyatakan isiannya berupa air laut murni) dan sisanya merupakan antibiotik, pereda nyeri, pereda flu, dan pereda apa lagi saya kurang paham. Yang pasti, obat pereda flunya itu unyu banget---Rhinos SR---kapsulnya transparan dengan isi butiran warna-warni, dan kalau diminum agak bunyi "nyesss" >.<



(Nggak jelas sih hasil fotonya. Kamera saya jelek, kayak yang punya. Tapi memang unyu kan obatnya~)

Kemudian, selama tiga hari, yang mampu saya lakukan hanyalah tidur, sholat subuh, mandi, makan di tempat tidur, minum obat di tempat tidur, nyemprot hidung, tidur lagi, minum antibiotik, sholat dzuhur, mainan hape di kasur (mostly nge-twit demi melepas rasa sepi), tidur lagi, makan lagi, minum antibiotik kedua, sholat ashar, balik tidur, mandi sore, mainan hape lagi, sholat maghrib, makan lagi, minum obat lagi, nyemprot hidung lagi, sholat isya, minum antibiotik untuk yang ketiga kali, mainan hape, lalu tidur malam dan begitu seterusnya---belum pula ngemil ini-itu, gimana nggak tambah gendut. Oh, iya, saya juga nggak boleh makan pedas dan minum air dingin dan bersoda sampai benar-benar dinyatakan sembuh (dan ini sungguh membebani saya!)---terus harus banyak minum air putih (kalau bisa yang agak hangat), banyak makan sayur, tidak boleh terlalu lama terkena angin, kipas angin, dan AC, dan tidak boleh menghirup bau obat nyamuk, terutama yang elektrik.

Eh, iya, kalau masuk laboratorium juga, saya disarankan memakai masker, biar ndak ada kontak sama bahan kimia asing, begitu.

... Jadi tadi saya pretest pakai masker sendiri.

Sejauh ini saya manut sih, nggak berani bandel (karena sinusitis itu, ampun, sakit kepalanya luar biasa sekali, berdiri sebentar saja rasanya nggak kuat, makanya saya ingin lekas sehat) dan alhamdulillah sekali saya sudah mampu kembali mencium berbagai macam bau dan mengecap rasa, walau hidung saya jadi agak sensitif jika terkena AC sedikit saja. Saluran pernapasan pun sudah jauh lebih lowong dan lega---kadang memang masih sedikit tersumbat, namun dengan bantuan semprotan pembersih nasal tiap pagi dan malam, saya pun perlahan mampu menyingkirkannya!



(Sterimar, semprotan hidung yang ajaib!)

Nah, ada yang lucu dari kejadian ini. Syahdan, Ibu saya lusa silam bermimpi. Dalam mimpinya, Ibu bertemu dengan kakek-kakek tua berpakaian putih (jujur ini agak serem) yang kurang lebih menyarankan Ibu untuk mencabut tiga helai rambut saya, laksana sakit kepala saya akan mereda. Kemarin pagi, sewaktu sakit kepala konstan itu kumat, Ibu tahu-tahu menyelinap masuk ke kamar saya. Usak-usek usak-usek, tahunya beliau sibuk mencabut tiga helai rambut saya yang berdekatan dengan sumber nyut-nyut (apa pula pilihan bahasa ini). Dongkol, saya tak kuasa menahan diri untuk menanyakan apa maksud di balik tingkah 'iseng' beliau. Sembari tertawa, Ibu pun menceritakan mimpinya. Saya, yah, sekedar berdecak, antara percaya dan tidak, lalu lanjut tidur setelah menenggak antibiotik pertama.

Lucunya, ketika terjaga, sakit kepala saya hilang. Babar blas, begitu pun rasa nyut-nyut yang biasanya menjalar di seputaran dahi.

...

Ah, bulu kuduk saya berdiri.

****

Kalau ditelisik, nggak kebayang, lho, betapa bosannya saya sewaktu berdiam diri di kamar selama seminggu belakangan. Ya bagaimana tidak, saya nggak bisa ke mana-mana selain tiduran di atas kasur, tegak lebih dari setengah jam sudah pusingnya minta ampun. Mandi harus buru-buru, makan juga di atas kasur sambil nyender dinding, sama halnya saat minum obat, nyemprot hidung... Main laptop aja ndak kuat, ndak saya sentuh, baru malam ini kami rujuk kembali---saya dan si laptop, maksudnya---itu pun, masih saya barengi terlentang setiap lima belas menit sebelum lanjut ngetik. Ya, seperti yang saya bilang tadi, hiburan saya selama 'meliburkan diri dari kuliah dan segala aktivitas luar-rumah' ini paling-paling hanya... TV (sampai saya hapal judul drama Korea yang biasa ditonton Ibu serta gosip-gosip terkini di dunia hiburan tanah air), handphone (stalking timeline di twitter tentunya), dan musik, yup, musik, terutama musik folk.

Kan, kan, mood bagus membawa pikiran yang positif, terus kalau pikirannya positif, jadi semangat buat cepat sembuh, yeeee (/~^w^)/~



(Cover dari Our Endless Numbered Days milik Iron & Wine)

Lalu, kenapa folk? Hm, nggak tahu, sih, pada dasarnya saya dapat menerima hampir semua genre musik (walau saya lebih condong ke klasik dan jazz), namun entah kenapa belakangan saya tengah kecanduan musik bergenre folk, terutama karya-karyanya Iron & Wine, Sufjan Stevens, Mumford & Sons, Bon Iver, Payung Teduh, dan Fleet Foxes. Mungkin karena suasana yang diciptakan oleh musik folk itu sendiri ya---dan berhubung kondisi badan lagi nggak enak, saya membutuhkan sesuatu yang menenangkan. Musik folk hadir sebagai pilihan yang tepat, kakak! Lebih, lebih, Iron & Wine! Saya nggak habis pikir, pria berjambang selebat itu bisa-bisanya memiliki suara yang sungguh... sungguh... sungguh lembut, sungguh kalem. Kalau Sufjan Stevens sih masih mending ya, penampilannya kan masih bisa dibilang 'cute' maka agak 'masuk akal' jika suara laki-laki kelahiran Detroit ini smooth dan soothe sekali (di single Casimir Pulaski Day, suaranya lovely maksimal). Nyatanya, suara Sufjan masih kalah lembut, loh, dibanding suaranya Sam Beam (nama asli dari Iron & Wine), apalagi di lagu Passing Afternoon :')

Tapi, Mumford & Sons memberi suasana lain dalam musik folk mereka. Berbeda dari band beraliran folk yang biasa saya dengar, Mumford & Sons mengacu pada folk yang lebih agresif---rancak, namun masih tetap menenangkan. Little Lion Man adalah satu dari sekian karya mereka yang sugoi! Perpaduan alat musiknya jenius betul, dan saya memang benar-benar mampu merasakan suasana pedesaan Eropa---lebih ke Scotland, sebenarnya, lengkap dengan deretan pegunungan, hamparan gandum, dan pria ber-rok-kotak-kotak---sewaktu sampai di pertengahan lagu. Suaranya Marcus yang sedikit serak dan kasar juga khas sekali, entah kenapa, nge-bland betul dengan lagu ini. Eh, lagu Mumford & Sons nggak semuanya rancak, ding, ada yang galau juga. After the Storm, misalnya, sama sekian menit awal Not With Haste---cuma, overall, saya prefer gaya-bermusik-agresif mereka. Lebih, hm, lebih mengena.

Jadilah, selama terbaring tak berdaya kemarin, saya rajin memutar lagu-lagu folk untuk mengalihkan pikiran dari rasa bosan dan sakit kepala, biasanya sebelum tidur malam atau saat mainan hape. Bisa jadi, bisa jadi, lho, mendengarkan lagu-lagu semacam ini turut memengaruhi batin dan lahir saya---mungkin saya tambah kalem, manis, atau bagaimana---makanya sewaktu saya akhirnya kembali menampakkan diri di kampus tadi siang, ada empat orang yang berkata saya kelihatan tambah cantik (entah apa yang membuat mereka berpikir demikian, namun saya bahagia XD ) dan makin putih :3

Ahaha, dunia memang masih berputar, kelihatannya.

****

"Tapi sayangnya kamu bukan Doraemon, dan saya bukan Nobita. Petualangan kita tidak dapat dimula dari sebuah pintu ke mana saja."

Itu omongan absurd saya via twitter tadi malam---hanya saja, saya tak pernah menyangka bahwa selanjutnya, saya akan bermimpi naik baling-baling terbang bersama Shizuka.

Yogyakarta, 2013

Aloha.


Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers