Gadis Bertudung Merah dan Serigala (Part. 1)

Dari awal, Gadis Bertudung Merah memang merupakan gadis yang nakal.



























(gambar disadur dari sini )

Gadis Bertudung Merah dan Serigala


Dari awal, Gadis Bertudung Merah memang merupakan gadis yang nakal.
Paginya Ibu sudah berkata bahwa ia tak usah menempuh jalan setapak di tengah hutan, namun ia telah lebih dulu menyumpel kedua lubang telinganya dengan gabus yang disayat kecil sehingga ia tak usah mendengarkan teriakan ibunya dari arah dapur dan membuat kisah setengah heroik yang sudah kita kenal sekarang. Aku bermimpi bahwa si Tudung Merah itu sebenarnya hanya ingin menyembunyikan fakta bahwa ia tengah mengincar seekor serigala yang tampan---tampan namun kelaparan---lantas menjadikannya mainan yang bisa ia simpan di dalam lemari tanpa ketahuan ayah, ibu, kakak, bahkan cicak rumah. Bagaimana aku harus menjelaskannya, tapi dalam mimpi itu, adalah aku sendiri yang berperan sebagai si Tudung Merah, dan aku merasa sangat licik sewaktu mendapati diriku terjaga dengan senyum yang ditarik sampai menutup bola mata. Bisakah kukatakan kalau aku baru saja mengalami perjalanan lintas waktu, atau malah sebuah lucid dream yang menghasilkan kental liquid di belahan jemari?

Pendeknya, aku menjadi Gadis Bertudung Merah dalam satu malam yang seakan tak berpenghujung, dan akan kuceritakan padamu bagaimana kisah brutal ini sebenarnya tak berakhir sampai di rumah nenek atau di pelatuk sang Pemburu. Tidak, sejujurnya, kisah ini sudah berakhir ketika aku bertatap-tatapan dengan serigala berbulu perak yang kutemui di tengah jalan setapak yang ada di tengah hutan yang ada di tengah desa yang ada di tengah bukit yang menengahi sebuah pulau---dan dari segala kepertengahan yang tak berwujud itu, kami jatuh cinta.

****

Sersan, tadinya kubayangkan kisah cinta seorang gadis remaja tanggung dengan monster penghisap darah yang berpendar di bawah sinar matahari sudah dapat dikatakan sangat buruk, namun ternyata aku bisa menghasilkan sebuah kisah lain yang jauh lebih tak enak dibaca.

"Kau mau ke mana, gadis manis?"

Suaranya, suara yang sarat pahit venom, memecahkan pagi lewat nuansa beracun yang dapat membuatmu insomnia berminggu-minggu, terperangkap oleh ketakutan. Gabus yang tersumpel di telingaku jatuh, membawa kotoran yang membuat serigala di hadapanku bercemooh. Seharusnya, di saat seperti itu, aku mengingat kata-kata ibu yang ia teriakkan dari dapur sebelum keberangkatanku, kata-kata yang terdengar bercampur desah, lenguh, lengau---entah apa yang dilakukan ayah dengannya, mungkin aku sedikit tahu, atau pura-pura tahu. Tapi serigala di hadapanku memakai kemeja dan celana belel. Sepatunya pun bukan pantofel, sehingga bisa kupastikan bahwa ia bukanlah lelaki baik-baik. Ah, ia memang bukan laki-laki, ia serigala, ia tetap berbulu, bulu yang keperakan dan mirip emas yang ditumpahi sedikit teh hijau. Matanya bara api, nyalang menyala. Taringnya tak seperti yang dikatakan oleh orang-orang, juga tak seperti yang dituliskan di buku pelajaran bahasaku di sekolah, alih-alih taring itu tak terlalu runcing, tak jauh lebih panjang dari kelingkingku---dan berair, air yang sepertinya merupakan tetes liur.

Ibu pernah berkata bahwa aku tak boleh bercakap dengan orang asing, dan berbicara tentang orang asing hanya akan mengingatkanku pada Albert Camus dan kalimat pembuka dalam bukunya---Ibu meninggal hari ini, atau mungkin kemarin, entahlah----yang kubaca diam-diam di bawah kolong tempat tidur, berakting seakan-akan ada Dracula yang berkeliling di rumahku dan sewaktu-waktu akan menangkap pergelangan kakiku yang tak sengaja terjulur keluar. Namun aku sudah bertingkah nakal sedari sarapan dan kali ini pun aku tak ingin mendengarkan kata-kata Ibu. Toh, yang kutemui di tengah deretan oak rapuh ini bukanlah Dracula, kakiku tak akan diseret sampai ke kastil dan leherku tak akan dilumat lewat cara yang begitu menggairahkan (sewaktu napas makhluk itu jatuh teratur di pucuk bulu kudukku dan punggungku berdesir). Maka dengan suara bergetar yang panas, aku menyebutkan tujuanku, tak merasa perlu berdosa:

"Rumah nenek," jawabku sekenanya, kemudian meneruskan, "di balik bukit seusai jalan setapak."

Aku hanya tak pernah menduga bahwa pagi yang berkabut tebal itu akan berjalan lebih panjang dari yang kubayangkan, dan hujan turun.

Bersambung


Yogyakarta, 2012.

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers