Melihat yang Tak Terlihat, Mendengar yang Tak Terdengar


"Banyak orang yang memperlakukan kami seolah-olah kami adalah jenis manusia yang mesti dihindari. Padahal, Mbak, kami tidak jauh berbeda dengan mereka. Kami juga memiliki akal, pikiran, keinginan, perasaan, dan sebagainya. Satu hal yang membuat kami tak sama hanyalah, kami tak bisa melihat---mata kami tak dapat. Di luar itu, kami normal, kami tetap saja manusia biasa."

 
****
Pembicaraan dengan seorang bapak-bapak (maaf) tunanetra di atas bis kota jalur dua beberapa minggu silam rupanya masih menyisakan bekas. Kalau tidak salah, waktu itu hari Selasa, saya memilih lekas pulang seusai pelajaran berakhir karena merasa tak enak badan. Sewaktu bis yang saya tumpangi ngetem di tepi Panti Rapih, bapak-bapak yang saya taksir usianya sekitar 30-tahunan akhir ini naik, lantas duduk di sebelah saya. Sekali pandang saja, saya mampu merasakan bahwa bapak-bapak ini 'spesial', tidak biasa. Begitu beliau membuka suara dan mulai bercakap, dugaan saya terbukti benar.

Pintar, mungkin itu yang dapat saya gunakan untuk mendeskripsikan beliau. Kami membicarakan (cukup) banyak hal kala itu, sebagian besar merupakan pengalaman-pengalaman beliau yang memang menarik didengar. Tak sedikit kisah beliau soal pandangan masyarakat umum terhadap penyandang disability---sebagian besar memandang sebelah mata, seakan-akan kami (Bapak semi-paruh baya itu mengarahkan telunjuk pada dadanya) berbeda spesies (atau genus, tambahnya) dari mereka.

"Tapi, Tuhan memang memiliki cara lain, Mbak. Satu indera saya barangkali dilemahkan---ah, tidak, dimatikan bahkan, namun indera lain yang saya miliki berfungsi dengan luar biasa. Misalnya saja, saya dapat berjalan tanpa panduan, hanya lewat meraba dan membau."

Sampai di sini, konsentrasi saya sedikit buyar---tanpa dikomando, pikiran saya berjalan sendiri, menimbang-nimbang apa yang barusan Bapak berwajah bungah itu ucapkan.

Ya, benar, Tuhan memang adil. Satu dihilangkan, satu ditambahkan. Tak ada rugi, tak ada hilang.

Ya, benar, Tuhan memang memiliki cara lain---termasuk cara-Nya untuk membolehkan saya mendengar apa yang tak terdengar, dan sesekali (atau, dulu sekali) melihat apa yang tak terlihat.

Ya, benar, Tuhan memang begitu.

****

Saya lupa, kapan pertama kalinya saya mulai mendengar apa yang tak semestinya didengar. Mungkin sudah semenjak usia tiga, seusai demam berhari-hari yang menyebabkan Ibu dan Bapak terjaga tiap malam. Kadang saya hanya mendengar suara hembusan yang tak biasa, yang seolah mencoba memberitahu sesuatu yang tak saya inginkan. Saya tak ingin tahu, saya tak ingin dengar, namun suara itu tak kunjung hilang. Bukan main ketakutan saya kala itu, sampai-sampai saya mesti tidur berdempetan dengan Bapak dan Ibu sebab saya takut kalau-kalau suara itu muncul menjadi suatu wujud yang tak berani saya bayangkan, lantas saya diseret ke kolong tempat tidur, dasar sumur, laci lemari, atau tempat-tempat tanpa cahaya lain, dan diberi hukuman---karena di luar sepengetahuan saya, rupanya, saya sudah hidup sebagai anak yang nakal.

Tak banyak yang percaya, yah, tak mudah untuk percaya. Well, wajar saja. Toh, saya sendiri tak bisa (berusaha tidak) percaya dengan apa yang saya alami. Waktu itu saya masih beranggapan, oh, saya hanya berimajinasi---oh, saya hanya berandai, berilusi, beranggapan yang tidak-tidak---sebab itulah yang orang-orang katakan kepada saya. "Alah, jangan buat-buat, deh, perasaanmu saja itu," dan semacamnya. Pihak yang boleh saya katakan benar-benar mempercayai saya adalah Bapak. Maklum, kami mengalami nasib yang sama. Malah, agak berbeda dengan saya, Bapak tak hanya mampu mendengar---Bapak pun mampu melihat.

Pernah satu atau dua atau tiga atau entah kali saya diberi kesempatan melihat apa yang tak terlihat. Kelebatan cahaya, bayangan hitam besar, kain putih, dan saya lupa apa lagi, namun jumlahnya masih dapat dihitung sebelah jari. Sebagaimana mestinya, tak banyak yang percaya, yah, tak mudah untuk percaya---maksudnya, bagaimana bisa begitu mudahnya percaya dengan hal yang simpang siur, tak gampang dijelaskan secara ilmiah? Saya mengerti, saya paham. Oleh karena itu, saya tak lagi membicarakan hal ini dengan orang selain Bapak, begitu terus menerus hingga akhirnya, saya hampir tak lagi dapat mendengar.

Suara-suara itu tak lagi datang.

****

Suara tangis membelah seperdua malam, lamat-lamat, menyayat-nyayat.

"Ibuk, Ibuk, bangun, ada yang nangis di samping rumah."

Tapi Ibu bilang tidak ada.

Ibu bilang saya hanya mimpi.

Saya sendiri tak mengerti mana yang mesti dipercayai.

****

Lain kali ada suara kuda (atau dokar) melintas di titian jendela kamar saya, menggetarkan gendang telinga.

Saya terjaga, seratus persen membuka mata, namun tak beranjak.

Sebab saya tahu, atau setidaknya meyakinkan diri saya untuk tahu, bahwa yang saya dengar sekedar imaji belaka. Bahwa sebenarnya saya tak pernah mendengar apa-apa.

****

Kata Bapak, jangan takut, lawan saja---mereka toh akan kewalahan sendiri.

Saya menurut.

Dan mereka memang pergi.

****

Tapi mengapa, tanya saya.

Mengapa---mengapa, kenapa, bagaimana bisa.

Saya tak mengerti, mengapa saya harus menuliskannya saat ini, mengungkapkannya kembali setelah lama saya tak mengalaminya, melepas suara-suara itu begitu saja, berlabuh pada telinga-telinga lain, rumah keong yang tak saya ketahui milik siapa, membisikkan apa yang tak semestinya didengar, suara tangis mendayu di tengah malam, rengek bayi, ketukan drumband, tawa melengking, sayup angin, langkah kuda.

Segala macam suara.

Apa-apa luntur sebagai warna nada.

****

Suara wanita tua, tadi malam, menembangkan macapat Jawa.

Saya tak bermimpi---saya terjaga, seratus persen membuka mata, tak ingin percaya---Ibu, saya tak bermimpi.

****

Mungkin suara-suara itu tak kerasan dengan lubang-lubang telinga lain yang sudah mereka singgahi.

Atau mungkin saya memang sedang merindu.

****

Ya, benar, saya memang sedang merindu.


Yogyakarta, 2012.

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers