'M', untuk Maag dan Metafora


"Mengapa tepian matamu berair?"

"Ah, tidak, hanya merindu."

"Semacam rindu yang membuat begitu ingin bertemu?"

"Tak jauh beda."

"Oh, siapa?"

"Rahasia."

"Oh---lagi-lagi---seorang pria?"

"Aku tak ingin menyebut nama."

Lalu suara di hadapannya padam, dan jemari mereka bercengkrama.

****

Saya sudah lama bermusuhan dengan lambung---lambung saya sendiri---dan entahlah siapa yang dalam kasus ini patut disebut sebagai protagonis dan antagonis, namun saya cukup percaya diri bahwa saya lebih pantas diberi label korban. Hubungan kami tidak baik, well, tidak sebaik hubungan saya dan buku gambar (atau pensil yang jarang diraut). Kadang saya lupa bahwa dia rentan, kadang dia juga terlampau manja dan menyiksa. Tetapi itu cerita lama, sebab setelah dinyatakan bahwa saya menderita GERD (yang, Alhamdulillah, masih tahap ringan) beberapa hari lalu, saya perlahan mulai bisa melihat titik terang di antara hubungan benci-benci-cinta kami (saya dan si lambung), lantas bertekad untuk berubah.

Ya, berubah---tidak, tujuh huruf heroik ini tidak saya ucapkan dalam nada Kamen Rider atau Power Ranger---, karena hidup cuma sekali, dan saya tak ingin terus mengonsumsi obat penenang asam lambung hingga tua. Jika dulu sahabat saya adalah kopi, maka sayang sekali, kami mesti bermusuhan---saya, saya mesti memihak satu organ tubuh paling manja yang sejak dulu sering saya sakiti lewat sambal kelewat pedas setiap hari dan makanan-makanan asam serta berkafein tinggi.

Pertamanya adalah heartburn, yang datang tanpa permisi dan seolah tak berdosa.

Malam itu saya baru pulang dari acara buka bersama, sampai di rumah pukul setengah sembilan, menemani Ibu belanja sebentar ke swalayan terdekat, membeli sebotol kopi dingin berembel-embel tujuh puluh delapan derajat, meneguknya tanpa berpikiran negatif, dan dilarikan ke UGD Rumah Sakit Jogja satu jam kemudian. Dada saya memang sudah terasa agak panas sejak paginya, tapi saya pikir, "Ah, paling masuk angin---karena kebetulan sebelumnya saya mandi malam.", maka saya diamkan saja. Bodohnya, saya lupa bahwa saya memiliki maag yang cukup parah. Yah, salah sendiri ia tidak kumat selama setengah tahun---salah sendiri saya sok-sokan mengerjakan projek padahal urusan kuliah saja masih amburadul, berujung pada kemasan kopi botolan atau kardusan yang harus dikonsumsi untuk menghilangkan kantuk, dan, dan, salah sendiri saya terlalu konsen dengan sinus saya yang belum sepenuhnya pulih hingga lupa mengatakan ke dokter bahwa, "Dok, asam lambung saya suka nggak bersahabat, padahal antibiotik kadang bikin dia kumat."

Organ bernama lambung itu barangkali marah.

Uh, yah, dia patut marah, saya tak menyalahkan.

Namun malam itu memang mirip metafora. Saya membeku di dalam taksi, sementara ayah dan ibu tidak tahu harus berbuat apa. Maklum, saya bukan mahasiswa kedokteran (walau saya selalu ingin), jadinya saya berpikiran bahwa heartburn dan dada yang mendadak sesak adalah tanda penyakit jantung. Air mata saya nggak terbayang mengalir berapa tetes. Aduh, jangan sekarang---ya Tuhan, jangan sekarang---saya masih muda, saya masih belum wisuda, saya masih mau keliling dunia, saya masih mau membuka butik, membuat clothing line sendiri, bekerja sama dengan studio Ghibli, menerbitkan buku, menikah, menjadi seorang Ibu, memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, menjadi seorang nenek, menjadi... menjadi...

Ya, Tuhan, astaga.

Astaga, astaga, astaga---bila malam itu metafora bisa dilukis, bukan ditulis, mungkin kanvas saya hanya perlu diberi akrilik hitam dan cipratan merah tua.

****

Hasil rekam jantung saya normal, sehat, tak bermasalah.

"Tapi asam lambung kamu sangat tinggi," sela dokter yang menangani saya di UGD, "mikir apa tho, memangnya?"

Percakapan mengalir, dari apakah saya baru putus, apakah saya ditinggal pacar, apakah saya ditolak cintanya, dan semacamnya. Saya hanya tertawa, mengikuti alir, menerima suntikan, mengonsumsi obat, makan, mengonsumsi obat lagi, makan lagi, hingga keadaan saya enakan.

Tapi tidak esok malamnya, karena sinus saya juga, wah, wah, wah, mendadak ikut cari perhatian.

Saya dilarikan ke Rumah Sakit B (inisial, sih, tapi orang Yogyakarta pasti tahu), karena dokter THT yang pernah menangani saya ada di sana. Berhubung dokter yang pernah menangani saya tidak ada (jelaslah, tengah malam, memang dokter siaga 24 jam), maka saya hanya disuntik pereda nyeri kepala, diberi obat, dan disuruh istirahat---walau akhirnya, keesokan harinya, saya tetap bertemu si dokter yang langsung geleng-geleng kepala begitu mendapati sosok saya di pintu ruang prakteknya, melepas kacamata tebalnya sambil bertanya, "Mbak Aya, kamu kenapa lagi?"

Lantas saya diceramahi, panjang lebar, soal---bukan hanya lambung kamu yang nggak kuat kalau diisi makanan pedas terus, tapi ingat Mbak Aya, amandel kamu, sinus kamu, belum lagi kamu nggak mau minum selain air dingin, udah gitu masih suka mengonsumsi kafein; memang mau operasi?

Jujur, baru kali itu, saya, hanya dalam waktu 2 minggu, dimarahi tiga orang dokter dan diberi suntikan, juga, sebanyak tiga kali. Sebelumnya, sejak kecil hingga sekarang, saya tidak pernah sakit sampai segawat ini. Iya, sih, saya memang gampang kena demam saat musim hujan, tapi ya sudah, diminumi obat puskesmas juga biasanya sembuh. Tapi sepertinya tahun 2013 memang tidak menyukai saya---ada saja kejadian yang membuat saya sedih, mulai dari IP merosot, terkena sinusitis, hingga yang paling baru, ya GERD ini.

Barulah, 2-3 hari yang lalu, saya akhirnya berpikir, "Kalau saya ndak merubah pola dan kebiasaan hidup saya, bisa-bisa segalanya akan berlanjut lebih buruk."

Tidak, terimakasih, saya sudah tidak ingin merebahkan diri di ranjang rumah sakit lagi.

Maka saya pun memutuskan untuk memulai segalanya dari awal.

****

Salah satu penanganan GERD adalah dengan menurunkan berat badan---uh, oh, saya memang ehm, agak, gendut---dengan berhati-hati, tidak boleh justru semakin melukai lambung.

Pertama, yang saya ubah adalah pola makan.

Saya termasuk orang yang tidak pernah makan dengan teratur, apalagi saat bulan puasa.

Kadang, kalau kegiatan padat dan saya tak sempat makan, maka saya baru mengisi perut pukul dua siang dalam porsi yang bisa sedikit bisa banyak (tergantung mood), dan tempo kunyahan yang cepat. Kadang, kalau tidak ada kegiatan, saya bingung harus mengganjal mulut setiap waktu. Lalu, lalu, di keluarga, saya memang dikenal sebagai pemangsa cabai dan lada. Dan, oh, es krim, yoghurt, kopi, mie instan, serta teh hijau pahit.

Oh, betapa saya harus melambaikan tangan keras-keras pada kebiasaan buruk ini.

Sejak tiga hari lalu, saya mulai makan setiap empat jam sekali (setelah satu jam sebelumnya meneguk sesendok sirup inpepsa untuk mengondisikan asam lambung, yang, seiring waktu saya juga harus belajar untuk lepas---dan, he'eh, saya belum boleh puasa), berupa porsi kecil nasi, sayur, protein nabati, dan sedikit protein hewani tanpa lemak yang dimasak tanpa minyak. Jika masih lapar, saya akan merebus sedikit oat dan memakannya pelan-pelan bersama pisang. Memang baru berjalan tiga hari, sih, dan kadang heartburn-nya juga masih terasa (sinusnya, Alhamdulillah, sudah jauh lebih baikan semenjak saya memutuskan untuk hanya-meminum-air-pada-suhu-normal-atau-hangat) namun tubuh saya sudah mulai enteng; lagipula tak mengapa, dokter bilang, penyembuhannya memang nggak cepat, kudu sabar, kudu telaten, kudu mau merubah diri. Sesekali, saya juga akan melarutkan madu murni dengan air hangat agar proses penyembuhan lambungnya lebih cepat. Dokter juga menyarankan untuk makan apel merah (sebenarnya cuka apel lebih baik, tapi kalau tidak cocok, bisa lebih parah), serta minum seduhan jahe hangat dengan sedikit gula, tapi saya belum sempat coba. Yang sekarang ingin saya coba sebenarnya adalah diet paleo. Sayangnya, berhubung beberapa kejadian menyatakan bahwa diet paleo, untuk beberapa orang, malah bisa memperburuk GERD, maka saya mengambil langkah yang aman saja---yaitu seperti yang sudah saya sebut di atas, membagi kalori makan saya dalam beberapa tahap, mengurangi makanan berlemak, berminyak, berkafein, serta asam.

Enak? Jelas, tidak.

Tapi saya ingin sembuh, kalau bisa total. GERD, susahnya, bisa kambuh saat hamil. Saya tidak mau hal buruk sekecil apa pun terjadi pada kandungan saya ketika sudah menikah kelak, maka mau tak mau, healthy lifestyle harus diterapkan, walau untuk memulainya memang berat.

Selain menghindari makanan pemicu naiknya asam lambung, membagi porsi makan, serta menunggu hingga minimal tiga jam setelah makan untuk rebahan di kasur, saya juga mulai rutin berolahraga, sehari setidaknya setengah hingga satu jam. Yah, olahraga kecil. Jalan kaki 15-20 menit ditambah senam kardio ringan. Fyi, semenjak aktif berolahraga, tidur malam saya lebih enak dan nyenyak. Berita bagus, sebab kurang tidur malam juga memicu kenaikan asam lambung. Terakhir, saya membiasakan diri untuk bahagia, tidak gampang marah, berpikir positif---karena segala kejadian buruk pasti ada hikmahnya. Saya mulai membuka mata, mencoba untuk tidak berpikiran jauh maupun paranoid, meluangkan waktu bersama keluarga, berdoa, beribadah, menonton kartun yang bisa membuat tertawa, menulis, menggambar, mencari-cari cara meditasi sederhana, melihat ke bawah, tidak melulu ke atas, dan menuliskan daftar mimpi-mimpi saya yang belum tercapai pada kertas besar agar bisa saya jadikan motivasi untuk sembuh total.

Tidak mudah, tidak gampang, tidak cepat, saya tahu.

Tetapi saya hanya ingin percaya.


Yogyakarta, 2013.

Oh iya, di post sebelum ini, saya pernah bilang, kan, bahwa saya sedang naksir yang namanya Do Kyungsoo alias EXO D.O?

Yah, dia salah satu sumber kebahagiaan saya belakangan ini, haha---dan perlu diingat, sebelumnya saya nggak begitu gampang tertarik (atau, benar-benar tertarik) dengan (fisik) laki-laki 3D (dalam hal ini, yang saya maksud adalah artis, aktor, penyanyi, atau apa lah) selain, mungkin, Brendon Urie serta Kanata Hongo. Jika apa pun, saya justru lebih sering tertarik dengan laki-laki khayalan, seperti Cala dalam novel Nukila Amal, Humbert Humbert yang entah mengapa begitu menarik meski kadar melankolia dan keabnormalannya besar, serta, tentu saja, Okita Sougo. Dat freaking sadistic Okita Sougo. Tambahan lagi, meski beberapa kali saya mendengar musik-musik Kpop, saya tidak pernah sungguh-sungguh tertarik dengan salah satu anggota boyband maupun girlband-nya. Eh, Park Bom bisa dihitung perkecualian karena, saya bayangkan, dia bagai tokoh Final Fantasy yang hidup, dan saya suka sifat kikuk serta suaranya yang unik meski harus lebih banyak dilatih, namun cukup sebatas itu.

Saya tidak menyangka bahwa Kyungsoo yang, err... dari sedikit sudut... mengingatkan saya akan salah seorang teman dekat di SMA... bisa membuat saya begitu tertarik.

Tapi tak mengapa.

Barangkali itu juga bagian dari metafora.

****

Comments
3 Responses to “'M', untuk Maag dan Metafora”
  1. Anonymous says:

    Thank you for his article
    I can learn a lot and could also be a reference
    klg asli - Thanks this has been my natural looking,
    I will always wait for your latest article

    klg
    klg pil
    agen klg
    agen klg asli
    obat pembesar penis

    jual klg
    jual klg pil
    Jual klg pil asli usa

    klg medan
    agen klg medan
    Jual klg medan

    vimax spray
    vimax men delay spray
    vimax delay spray
    vimax delay spray

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers