Tentang Masakan Ibu



(Ini kare Jepang buatan saya, dan jangan harap rasanya aman di lidah anda.)

Ketika saya bilang bahwa saya tumbuh dengan masakan Ibu, sungguh, saya tidak berbohong. Sejak kecil, saya jarang makan di luar---hanya sesekali jika ada kegiatan sampai sore di sekolah dan Ibu kebetulan sedang tak membawakan bekal. Jujur saja, saya baru sering jajan sejak kuliah. Itu pun, 'sering'-nya saya tidak sebanding dengan 'sering'-nya kawan kuliah lain. Ya wajar, sih, saya di Jogja toh ada rumah, ndak ngekos, ndak jauh dari orangtua, tapi tetap saja.

Tapi tetap saja.

Saya alergi, alergi segala macam makanan laut dan makanan sungai, itu sudah bukan rahasia. Setiap saya iseng jajan di luar, memesan satu porsi udang goreng tepung, takoyaki, sushi, ikan bakar, atau cumi asam manis, malamnya bintik-bintik merah panas nan gatal pasti mulai muncul di tangan kanan saya---pasti di sebelah kanan terlebih dahulu, entah apa sebabnya. Lucunya, lain kali, jika Ibu yang memasak segala macam makanan amis itu di rumah, saya tidak merasakan gejala alergi sedikit pun. Kalau pun ada, dibasmi sebutir CTM juga langsung sembuh. Saya ingat, dulu Ibu sampai pernah membuat empek-empek sendiri---pakai campuran udang, ayam, serta tengiri---agar saya tetap bisa menikmati kuliner asal Palembang itu tanpa harus berobat keesokan harinya.

Iya, saya dimanja. Iya, saya anak bungsu kesayangan keluarga---karenanya cara bicara saya kadang ngeselin, saya tahu (meski ada beberapa juga yang bilang itu unyu, he). Kakak saya bahkan pernah berkata begini sambil bercanda, "Kalau dulu kamu jadi kuliah di Teknik Geofisika ITB, nggak kebayang, lho, pasti kamu jadi kurus, terus alergimu gampang kambuh."

Lalu ketika saya pikir ulang, benar juga.

Saya rupanya, sekali dalam seumur hidup, memang tak salah ambil pilihan.

"Eh, tapi, gimana, kuliah di Teknik Kimia gampang atau susah?"

... Atau tidak sama sekali.

****



Ibu bisa memasak... pretty much anything but sweets.

Iya, Ibu nggak pinter masak kue maupun cookies. Alih-alih, dua hal menggemaskan ini merupakan keahlian Nenek saya. Nenek dari Ibu, alias Ibunya Ibu saya.

Saya sempat senang, karena saya pikir, kalau Nenek dan Ibu saja pintar memasak, saya pun memiliki peluang besar, pasalnya pepatah berkata bahwa air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga, ya tho? Iya memang ada pepatah yang berbunyi begitu, tapi jika dikaitkan dengan kenyataan hidup saya, air cucuran itu barangkali terlanjur menggok ke bak penampung yang telah disiapkan tuan rumah sebelum sempat mendarat ke cesspool.

Ndak, sih, saya ndak seburuk itu dalam memasak. Saya hanya... kurang lancar mendapatkan rasa yang pas, sebagaimana saya kurang lancar melakukan segala hal yang saya senangi, mulai dari menyanyi, bermain musik, menulis, hingga menggambar. Selalu setengah-setengah, selalu mediocre. Mungkin memang kodrat saya ya, cukup bisa banyak hal namun tidak sampai tahap expert :')

Oke...

Kembali ke statement awal...

Ibu saya pintar memasak, hampir segala hal kecuali kue dan cookies----setidaknya bagi saya. Ketika keluarga kami pertama kali pindah ke Jogja, Ibu membuat rendang sapi karamel dan memasukkannya ke toples rapat, dengan alasan bahwa beberapa hari pertama semenjak awal pindahan, pasti keadaan tidak akan memungkinkan beliau untuk memasak. Ternyata benar, karena rumah yang dulu kami kontrak di Mantrijeron (Mas belum membangun rumahnya sendiri sampai saya memasuki pertengahan kelas 1 SMP) masih perlu dibongkar di sana-sini, jadi praktis kami sekeluarga terselamatkan dengan rendang yang telah Ibu siapkan. Ah, iya, kalau tidak salah, selain rendang, waktu itu Ibu juga menyiapkan acar, sambal terasi bakar, dan kue bawang.

Ah, kue bawang.

Bicara soal kue bawang, saat kecil, menjelang akhir Ramadhan, saya pasti membuat makanan bercitarasa asin ini bersama Ibu dan kakak laki-laki saya (Bapak, tentu, mengajar di Malaysia, kakak pertama bekerja di Caltex---waktu itu masih belum Chevron---dan kakak-kakak saya yang lain menuntut ilmu di Yogyakarta) bersamaan dengan emping dan kacang yang juga rasa bawang. Biasanya, Ibu yang akan mengolah dan menguleni adonan, saya yang memutar mesin penggiling, dan kakak laki-laki yang memotong serta menampung hasil gilingan di tempat terpisah. Saya dulu masih imut, berkulit paling putih sekompleks dengan rambut lebat sepinggang, pipi tembem, dan ditaksir banyak laki-laki seumuran---ini ceritanya mau pamer, tapi gagal. Ha. Ha.

Ha...

Sampai di mana tadi?

Oh, iya, kue bawang.

Hmm, kue bawang yang sudah jadi itu biasanya sampai mengisi penuh toples seukuran kaleng Khong Guan, lho, namun entah sebanyak apa Ibu menyiapkan camilan yummy yang kadang juga dikasih parutan keju itu, di hari pertama lebaran pasti sudah hilang separuhnya. Selain karena saya dan kakak laki-laki memang doyan (apalagi kalau kakak pertama saya juga mendapat cuti dan menyempatkan diri datang ke rumah), tamu-tamu yang bersilaturahmi sembari membawa anak-anak mereka juga turut ambil andil dalam kasus habisnya kue bawang yang dimasak Ibu saya. Habis, rasanya memang beda. Ibu suka memasukkan guntingan seledri ke dalam adonan buatannya (dan parutan keju, seperti yang sudah saya ungkit) agar rasanya semakin gurih namun tidak terlalu enek.

Hanya saja, semenjak pindah ke sini, Ibu sudah tidak pernah memasak kue bawang. Alasannya? Gampang.

"Halah, beli aja bisa kok, gitu aja repot."

Ya jelas repot, wong rasanya kue bawang yang dijual jauh ndak sama dengan apa yang saya mau.

"Hahaha, ya sudah, kamu bikin sendiri, Ibu bantu anter ke pasar."

Nyatanya, saat hari H tiba, Ibu juga yang menyiapkan dan mengolah bahan yang ada.

Saya hanya mampu mengecap hasil karyanya.

****

Tapi Ibu tetap menyayangi saya.

Luar biasa, bagaimana dari sepiring makanan hangat yang tersaji di meja, saya bisa tahu betapa besarnya cinta beliau terhadap saya.

Jujur saja, Ibu saya bukan Ibu paling pintar yang pernah ada. Beliau lebih banyak ngendon di rumah, mengurusi segala macam tetek bengek kerumahtanggaan, hanya bisa sedikit-sedikit pakai internet dibanding menonton drama Korea dan terlibat konflik di dalamnya. Tapi Ibu adalah sosok Ibu yang sangat luar biasa, yang tidak pernah meninggalkan sisi Bapak selama bertahun-tahun beliau berkutat dengan penyakitnya (hingga, alhamdulillah, dua bulan ini kondisi Bapak sudah sangat membaik), lantas mengajar anak-anak kecil secara gratis di sore hari, dan menyiapkan masakan untuk keluarganya. Ketika sewaktu-waktu saya ingin makan sesuatu pun, pasta misalnya, Ibu hanya membaca sekilas resep aslinya, menyiapkan bahan, lantas meluncur ke dapur, memainkan intuisinya, dan voilĂ , saya sudah bisa merasakan makanan yang tak jauh beda dengan apa yang pernah saya makan di restoran lokal.

Kadang saya agak terharu kalau Ibu sudah sibuk memasak banyak makanan saat kakak-kakak mampir ke Yogyakarta membawa anak-anak mereka---keponakan-keponakan kecil saya. Ibu tahu betul, kakak pertama saya sangat suka Gudeg, maka sebisa mungkin beliau menyempatkan waktu untuk memasak makanan khas Jogja itu sendiri, ndak usah beli. "Karena rasanya akan beda jika yang membuat adalah Ibu, bukan orang lain," ujarnya, meski tak saya tanya. Tapi saya tertawa saja, sebab dalam hati saya pun mengerti---seandainya saya yang berada di pihak kakak-kakak saya, tentu saya akan lebih memilih untuk makan masakan Ibu yang hanya setahun sekali mampu saya cicipi ketimbang membeli masakan orang lain. Kakak kedua saya pun tentu lebih suka sate kambing yang dibuat Ibu, begitu seterusnya, hingga saya sendiri; saya pun pasti lebih suka makan ayam goreng manis dan sambel bajak yang Ibu buat---lebih garing, lebih empuk seratnya, lebih terasa juga pedasnya.

"Nanti kalau cari suami, cari yang bisa manjain kamu kayak Bapak dan Ibu," pesan beliau suatu hari dalam bahasa Jawa yang lembut. "Kadang Ibu merasa bersalah, mungkin saking sayangnya, kamu jadi terkekang, jadi ndak bisa melakukan banyak hal."

Saya menitikkan mata waktu itu.

Hubungan kami memang dekat, sangat dekat, tapi saya jarang menangis di hadapan beliau---tidak jika masalahnya sudah sangat di luar batas kesabaran saya.

Saya sebenarnya juga agak susah membayangkan, seandainya nanti saya harus pergi jauh dan tidak bisa merasakan masakan buatan Ibu dalam jangka waktu lama---entah itu sekedar wortel yang dipotong kecil-kecil dan dimasukkan dalam sup atau omelet agar saya mau memakannya, hingga pecel Madiun andalan keluarga, soto Madura, rawon, pepes tahu telur asin, tumis jamur lada hitam, semur ayam, capcay, jangan asem, okonomiyaki, segalanya---alangkah rindunya, alangkah kangennya. Mungkin karena itu beliau menangis acapkali Bapak kembali untuk mengajar ke Malaysia setelah masa liburannya habis, atau ketika beliau harus melepas satu per satu putera-puterinya untuk bekerja ke kota seberang, berkeluarga, dan meniti hidup hingga tua, hingga entah kapan. Mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa kakak-kakak saya dulu pernah menangis sewaktu menelepon Ibu, beberapa bulan pertama setelah kepindahan mereka di Ibu Kota. Mungkin, mungkin saja, itu sebabnya keponakan saya selalu senang datang ke Jogja, berlarian ke dapur dan bertanya, "Mbah, Mbah hari ini masak apa?" kepada Ibu saya.

Karena dalam seporsi makanan hangat yang terhidang di atas meja, kami juga menemukan cinta.

****

"Akhir semester ini mudik, kan?"

"Iyalah, mudik! Aku kangen masakan Ibu!"

"Iya, aku udah nggak sabar makan masakan Ibu."

"Wah, enak ya, kalian bisa mudik, aku masih nunggu semester depan..."

"Iyae, sama. Iri eh, rasanya. Aku juga pengen makan masakan Ibu."

Aku juga pengen makan masakan Ibu.

Percakapan di sudut ruang kuliah itu terus mengalir, tanpa henti, bersahutan, bertumpang, bertindihan, seolah tertiup lepas dari suatu sumber pasang dan menyebar ke segala arah, dan beresonansi dengan suara dosen, membentuk rima, membentuk nada.

Mata saya terpejam, sejenak, lantas terbuka kembali oleh getaran kasar yang datang dari saku celana.

(1) new message.

"Nduk, nanti pulang jam berapa? Jangan kemalaman, ya. Ibu masak ayam tepung, lho."

Saya terdiam sejenak, menatap layar handphone dan wajah teman-teman kuliah secara bergantian, lantas tersenyum.

"Iya, nanti jam 4 berangkat dari sini," ketik saya. "Eh, Buk, aku---"

Hapus.

Ketik.

Hapus.

Ketik.

Hapus-ketik-hapus-ketik-hapus-ketik.

Hapus.

Ke...

Hapus.

Ketik. Ketik. Ketik.

Kirim.

"Iya, nanti jam 4 berangkat dari sini. Wah, yaudah beneran, aku kangen masakan Ibuk."

Sesederhana itu saja.

****

Yogyakarta, 2013

Saya perlu banyak bersyukur, kelihatannya.


Comments
One Response to “Tentang Masakan Ibu”
  1. jadi kangen ibuku. sama, ibuku juga pintar masak sementara aku.... :s
    (every) mom is always great, i wonder if i could be like my mom :"

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers