Rachmaninoff Piano Concerto No. 2

Mungkin karena pada kenyataannya, saya akui, saya ini tipikal yang tak pandai berbicara, terlebih kepada orang yang tak begitu dekat.

"If music be the food of love, play on." --- William Shakespeare


Saya suka musik, sungguh. Barangkali musik adalah hal kedua yang benar-benar saya sukai setelah menulis, menggambar, dan meratapi hujan. Di pagi hari, seusai melakoni subuh, beres-beres, berbenah, berangkat kuliah, di dalam kelas, di atas bis kota yang bercampur bau keringat, senja berarak, saya pasti akan menggumamkan sebuah lagu tanpa sadar, lagu apa saja yang kira-kira cocok dengan mood saya kala itu. Bagi saya, musik seperti mengutarakan sebuah cerita, mirip buku harian, bedanya saya tak memerlukan kertas dan pena.







Mungkin karena pada kenyataannya, saya akui, saya ini tipikal yang tak pandai berbicara, terlebih kepada orang yang tak begitu dekat. Jujur saya lebih senang diam, duduk sendiri di sebuah tempat yang tak ramai, membayangkan sebuah kisah yang kira-kira bisa saya tulis. Karenanya, saya gemar duduk di pinggir jendela setiap menaiki angkutan umum, menyaksikan dunia luar yang seolah-olah bergerak dari balik kaca. Di waktu seperti itu, otomatis, mulut saya diam-diam akan mengalunkan sebuah lagu, sekumpulan nada. Kadang saya memikirkan sebuah alunan yang meledak-ledak, kadang saya memikirkan alunan yang lembut namun sarat emosi. Sekali lagi, segalanya kembali kepada mood dan keadaan batin, tetapi memang saya lebih suka dengan sesuatu yang lembut dan nyaris tak terdengar, terlebih jika didengarkan ketika hujan. Ayolah, jangan salahkan saya, saya hanya seorang perempuan.

Saya jatuh cinta terhadap piano semenjak usia lima atau enam tahun, sewaktu pertama kali mendapati benda hitam metalik itu di sela lomba pembacaan puisi yang saya ikuti. Tapi keluarga saya bukanlah keluarga yang cukup open-minded dengan profesi sebagai pekerja seni, maka saya pun dijauhkan dari hal-hal yang terlalu dekat dengan hasrat saya itu---saya ingat pernah dimarahi karena ketahuan menggambar komik dan mengikuti lomba menulis. Namun begitu saya mulai membawa pulang piala, empat sampai lima kali, saya pun diberi rongga bernapas.


Cinta monyet saya pada piano masih berlanjut hingga awal usia enam belas, sampai akhirnya saya memiliki kesempatan untuk mempelajarinya, tak lama.






Namun rasa kasmaran yang saya punya tak berhenti cukup di situ saja, meski selama ini saya tak pernah menceritakannya kepada siapa-siapa. Setidaknya, jika saya tak cukup baik sebagai seorang pemain, maka saya akan menjadi seorang pendengar yang pintar. Pertengahan usia enam belas, saya kembali mendengar musik-musik klasik yang lumayan lama sudah saya tinggalkan, setengah heran bagaimana bisa saya mencampakkannya dan menggantinya dengan lagu-lagu cinta khas anak remaja. Tak memakan waktu lama bagi saya untuk kembali jatuh cinta dengan musik klasik, seperti yang pernah saya alami di masa belia. lalu. Dari sini, saya mulai bereksplorasi, mencari-cari karya komposer yang selama ini belum pernah saya dengar namanya. Saya mulai mengenal Ravel, Verdi, Bartok, Dvorak, Mahler, Vivaldi, dan lainnya, tak dapat saya sebutkan satu-satu.


Termasuk, Sergei Rachmaninoff.









Perawakan komposer satu ini mengingatkan saya pada seorang kawan, terutama jemari tangannya yang besar. Selain sebagai komposer, Rachmaninoff juga berprofesi sebagai pianist, bahkan namanya sering dielu-elukan sebagai salah satu pianist terhebat sepanjang masa. Tak heran, dengan jangkauan jemari sebesar dan sepanjang itu, ia tentu lebih mudah berdansa di atas tuts piano---saya tak penah berhenti iri. Dan karya-karyanya memang benar-benar luar biasa. Seandainya saya tak mengenalnya, bisa jadi, hingga sekarang, Piano Concerto No. 5 in E-flat major, Op. 73 kepunyaan Beethoven atau Piano Concerto No. 1 in E minor, Op. 11 milik Chopin masih tetap bersarang (bersaing) di peringkat pertama dalam tracklist saya. Namun semua berubah semenjak negara api menyerang saya mendengar Piano Concerto No. 2 in C minor, Op. 18 dari Sergei Rachmaninoff, kurang lebih dua atau tiga tahun yang lalu.


Dalam skala satu sampai sepuluh, mungkin saya (bahkan) akan memberi nilai seratus untuk karyanya yang satu ini. Lucu sekali, bagaimana saya tak bergeming ketika pertama kali mendengarnya.


Movement pertama, Moderato, tak pelak adalah movement yang paling saya cinta. Bagaimana tidak, movement pertama ini begitu... menggebu. Mirip pembukaan teater, atau perang. Selain itu, juga memiliki sebuah klimaks, klimaks yang sungguh mencengangkan. Bagi sebagian besar orang yang pernah dan sering memutar lagu ini, separuhnya akan setuju bahwa mereka seolah baru saja mengalami sebuah... ah, saya tak ingin bermaksud lancang atau vulgar, namun saya hanya akan berkata apa-adanya. Ehm, mengalami sebuah orgasme, yang datang dari sepetak musik, sewaktu concerto mulai memasuki menit-menit ke tujuh (well, menit-menit menjelang klimaks di lagu ini berbeda-beda pada setiap versi yang dimainkan pianist, namun personally, saya paling lengket dengan permainan dan interpretasi Richter pada lagu ini, bahkan melebihi permainan asli Rachmaninoff, sang komposer---pada versi Richter sendiri, klimaksnya ada di menit-menit ke 6:40). Dan saya tidak berbohong, namun memang begitu adanya. Seperti ada sebuah puncak pada pertengahan movement pertama ini, yang sebenarnya hanya berlangsung selama beberapa detik, tapi meninggalkan bekas sampai bermenit-menit.



Movement kedua, Adagio Sostenuto, suasana mendadak berubah kalem. Setiap mendengarkan movement kedua ini, saya selalu membayangkan tengah terduduk di atas kereta kuda dengan atap terbuka, mengenakan baju tebal berbahan bulu di bagian kerah, mendongakkan kepala, mengamati suara-suara langkah kaki yang berjalan pelan-pelan, langit gelap, dan saju turun perlahan. Jika movement pertama dapat saya gambarkan sebagai persiapan hingga berakhirnya perang, maka movement kedua ini pantas jika disebut sebagai encore dari perang itu sendiri, ketika yang tersisa hanyalah puing-puing dan rumah-rumah yang ambruk. Tetapi, sekitar di pertengahan menit ke enam, suasana sedikit memanas, digambarkan dengan perubahan tempo dan perpindahan kunci, tak lama. Menjelang akhir, suasana kembali kalem, bahkan lebih kalem dari suasana awal movement kedua ini, dan cenderung sedih. Saya seperti berada di detik-detik terakhir sebuah film petualangan, masih di bawah butiran salju---ketika tokoh utama sudah bersiap kembali ke tanah asalnya masing-masing.


Movement ketiga, atmosfer terasa sungguh agresif pun sedikit mencekam. Barangkali ini adalah saat-saat di mana rakyat dan negara merayakan kemenangan atas perang yang telah usai. Saya dapat membayangkan suatu kebanggaan, dan suatu kehormatan, acapkali saya mendengarkan movement ketiga ini. Seakan-akan ada sekumpulan bangsawan kerajaan suatu negara yang tengah berjalan dengan angkuh di atas karpet merah yang digelar di tengah jalan, diiringi dengan barisan orkestra di belakangnya, sementara rakyat tengah berkerumun di sisi kanan dan kiri jalan, meneriakkan kemenangan---seikat balon warna-warni diterbangkan ke langit, diikuti riuh yang tak kunjung usai. Salju tak lagi turun, namun bekasnya masih menggunung. Di beberapa rumah, tak jarang ditemui manusia salju dengan hidung wortel bengkok dan mata kerikil. Pesta lantas dibuka, besar-besaran. Seluruh warga berdansa, tak peduli akan salju yang membeku di mata sepatu mereka.


Secarik akhir yang bahagia, dan meriah pula.



****


Luar biasa rasanya, ketika musik bahkan tak memerlukan kata-kata demi membangunkan ide liar di dalam pikiran saya, melainkan hanya lewat sekumpulan nada yang mengalir. Ketika musik bahkan mampu bercerita lebih baik dari cerpen-cerpen atau puisi-puisi yang pernah saya buat, meski tanpa satu pun kalimat.




Yogyakarta, 2012.


Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers