Saya Mengenalnya Sebagai Jo





Saya mengenalnya sebagai Jo, begitu saja tanpa tahu nama aslinya. Pada beberapa kemungkinan, saya tebak, bisa saja dia tidak berdusta---bisa saja ia memang bernama Jo, cukup begitu, tak ada embel-embel lainnya. Namun, akal sehat saya masih berjalan dengan baik, maka saya tak langsung percaya ketika ia memperkenalkan dirinya cuma sebagai Jo---Jo dengan pelafalan 'o' yang ditekankan dan perlahan mengawang, membentuk semacam perasaan ngilu di kerongkongan.

Barangkali (alam bawah sadar saya diam-diam mulai berspekulasi), pada hari-hari awam, ia bernama Joshua (atau Jonny, Jonathan, dan Jo-Jo lain yang enak didengar). Di sisi lain, bisa saja, ia sebenarnya berasal dari tengah desa dan biasa dipanggil Joko (suku -ko yang melekat di empat-huruf namanya mesti ia hilangkan agar alibinya tak ketahuan). Tetapi, tak cukup di sini, saya rasa, masih ada kemungkinan bahwa (lagi-lagi bisa saja) nama aslinya sama sekali tak mengandung unsur 'Jo'. Mungkin Andi, atau Surya, atau Parmin, atau bahkan lembar kosong yang terlupa, dan Jo sekedar kamuflase tak berdosa yang ia kenakan di hadapan saya---toh, toh, tak mengapa.

Sebab rupanya, tanpa dapat dicegah, saya sudah lumayan puas mengenalnya sebagai Jo---hanya Jo dan Jo sa-ha-ja, meski tak perlu saya jelaskan alasannya.


****



"Bagaimana kalau minggu depan, kita mampir ke Venus?"

"Kamu yakin mau mampir ke planet hipster begitu?"

"Jangan bilang begitu," saya merengut, mencoba bertingkah sok imut, "kamu 'kan sudah janji, pertemuan selanjutnya, aku yang membawa peta."

"Iya, iya, tetapi kenapa mesti Venus? Lebih baik kita main lompat-lompatan dan petak umpet di antara asteroid---setelah bosan, kita bisa melemparnya ke lubang hitam juga menendangnya ke segala jurusan."

"Tapi aku kepingin mengunjungi Venus," saya ngotot, masih mengerucutkan bibir, "bukan main lompat-melompat dan petak umpet, bersama batu angkasa pula."

"Aku tidak paham pikiran wanita," ia menatap saya dengan alis yang ditautkan.

"Aku pun, Jo, tidak paham pikiran lelaki."

Pada suatu titik saya kerap membayangkan Jo hidup dalam buku Haruki Murakami.

Saya ingin menggambarkannya atas nama duka. Namun susah betul melakukannya, sebab kadang Jo tertawa dengan mulut lebar terbuka.

Jo memiliki siluet yang tirus, dan jika dilukiskan dari samping, bayang-bayangnya akan berakhir lewat garis putus-putus. Hitam-putih; sketsa yang membawa Jo pada suatu subuh di mana kami berdebat tentang planet mana yang akan kami kunjungi selepas malam nanti. Cangkir teh kosong berbaris di lantai---Jo duduk dengan betis telanjang. Kakinya banyak ditumbuhi bulu dan di antara helai halus itu saya terkadang tak mampu melihat bentuknya yang jenjang. Bola matanya bundar besar, seakan menanyakan segala hal yang berkelebat di muka dunia. Sesekali juga bola mata itu menanyakan ke mana saya akan pergi, atau sudahkah saya makan pagi, dan jika jawabannya belum maka kedua sisinya lantas menyipit, menyiratkan kekesalan Jo yang jarang terungkit.

Segala tentang Jo kurang mampu saya tuangkan melalui kata-kata. Pada akhirnya saya hanya dapat meraba-raba. Jo bertubuh jangkung, lurus serupa tiang. Kurus, dan nyaris tak memiliki lekuk di pinggang. Saya dapat mengingat wajahnya, samar-samar. Kami lebih sering berada dalam ruangan gelap, menamai semesta di angkasa dan membawa peta untuk pergi ke sana. Hanya saja ketika saya menutup mata, saya dapat menggabungkan apa yang seharusnya ada pada paras Jo. Senyumnya yang setengah dipaksa, misalnya. Dan belakangan saya terkenang bahwa Jo mempunyai kebiasaan mengancing kerah kemejanya, sedemikian rupa hingga saya tak dapat menemui apa-apa di balik pakaiannya yang cenderung bermotif kotak-kotak dan berwarna jingga ditimpa ungu muda. Barangkali ia memiliki luka di sana, bekas luka apa---tak perlu saya cari tahu asal mulanya. Barangkali hobi itu muncul karena Jo lebih merasa percaya diri dengan lehernya tak terkena kontak dengan matahari. Tetapi di antara bermacam dugaan saya tak pernah mampu membawa satu kepastian pada titik terang. Ketika saya buka mata untuk kesekian kalinya, kami telah tiba di Venus, dan Jo sekali lagi hadir sebagai bayang-bayang yang berakhir lewat garis putus-putus.



****

Pada hari-hari itu kami sering bertemu, tanpa janji, tanpa menanyakan kabar satu sama lain atau waktu yang ditunjukkan oleh jarum arloji.

Setiap kali kami selesai berkelana, saya pergi mencuci kaki, menggosok gigi dua kali di belakang deretan seri, dan berdoa lama sebelum tidur di sofa, terkadang juga di lantai bila saya terlalu lelah dan di ranjang ketika saya malas terjaga dalam keadaan bertatap-tatapan dengan layar televisi. Saya tidur dengan lampu ruang tamu menyala. Namun di malam hari jauh sebelum saya terbangun, Jo sudah lebih dahulu pergi. Lesap, namun tak pernah saya tanyakan ke mana. Saya tak begitu ingin tahu soal apa yang ia lakukan ketika kami tidak sedang bersama.

Butuh waktu bagi saya untuk terbiasa dengan kedatangannya---Jo, yang beraroma seperti daun teh yang baru diseduh---tiba-tiba, dan selalu dalam siluet samar, sebab seperti yang sudah saya sebutkan, saya dan Jo biasa bertemu di ruang gelap, wajahnya tertutup hitam hingga setengah bagian. Karena Jo bertubuh tinggi, dan saya tak pernah sampai sepundaknya, saya banyak memiliki ingatan tentang wajah Jo yang menunduk. Ketika ia menunduk, bulu matanya tampak lebih lentik, berkedip lambat sekitar tiga atau empat detik. Saya suka memandang Jo dari samping, karenanya kami selalu berjalan bersisian. Suatu hari, saya duga, kami akan berjalan berjauhan, punggungnya menghadapi saya atau sebaliknya---saya yang membelakangi dia. Di antara tepak kaki kami di luar angkasa, suaranya memanggil nama saya.



****


Bagaimanakah saya harus menjelaskan perpisahan?

"Jangan tanya ke aku," Jo berbisik di bahu saya, rambutnya pilinan sutra. "Aku hanya mampu memberikan jawaban dalam bentuk---," lantas ia melirik ke sisi seberang, sebentar, dan berdiri tegap, dan saya dapat melihat tulang betisnya menonjol keluar, seperti minta ditantang; seperti minta dihantam, "dalam bentuk warna---ya. Warna, kau tahu, seperti kecemburuan adalah burgundy dan degup jantung adalah merah koral. Seperti itu."

Jo, seperti metafora, selalu melontarkan kata yang tak mampu saya cerna. "Aku tak paham," ujar saya, hampir menjambak rambutnya, nada bicara saya pahit serupa pinggiran roti yang dimasak terlalu matang, dan saya telah menggunakan nada bicara ini berkali-kali kepadanya.

"Gampang saja. Perpisahan adalah---"

"Adalah?"

"---corak biru."

"Corak bi---aku masih tak paham maksudmu."

Jo kembali duduk, kali ini di atas meja, ujung kemejanya dimasukkan ke dalam lipatan sweater. Kotak-kotak, sebagaimana mestinya (betapa Jo dan plaid fabric tidak dapat dipecah belah, betapa keduanya adalah kesatuan yang saling mengikat), berkerut di banyak sisi ketika ia menaruh punggung tangannya di atas dagu, melihat jingga senja digerogoti gradasi ungu.  "Perpisahan adalah melankoli, well, biru pun, kupikir, tak jauh berbeda. Jadi kamu bisa dapatkan dua analogi itu, biru dan perpisahan, sebab keduanya mewakili melankoli, dan kamu tahu apa yang aku maksud tadi."

"Tapi ada banyak macam dari warna biru," saya menyeka keringat, membiarkan beberapa tetes lewat di bawah kelopak mata saya mirip tangis yang berbulan tertunda; tangis tipis dan kerontang. Dan masam, dan kurus kering, dan penuh duka, seperti biru yang Jo singgung. Seperti perpisahan di bisu yang agung. Di arah yang berlawanan, beberapa jengkal dari tempat saya berada, ia menyilangkan kaki, sementara sorot matahari memantul pada punggungnya yang tirus dan menatahkan bayangan tinggi gelap di dinding yang sama sekali tak mirip siluet Jo. Bayangan itu terberkahi di sana, menjadi lukisan yang terus-terusan bersender di dinding, dan atap, dan sebagian lantai, tak jauh lebih indah dibandingkan Jo yang kini menyipitkan matanya hingga terlihat seluruh wajahnya tampak tengah tertawa. Jemarinya yang kurus bersender di atas pahatan meja, terbias terik siang hari. Di luar daun berwarna cokelat dan berguguran---saya membuang muka. Seketika. Merasa sedang jatuh cinta.



****

"Jadi perpisahan adalah biru."

"Ya, tapi kamu sempat bilang bahwa ada banyak macam dari warna biru."

"Bukannya memang begitu?"

"Iya, memang begitu. Tapi perpisahan tetaplah biru. Biru yang tertentu."

"Misalnya?"

"Bukan misalnya. Tapi, apa."

"Dan mengapa."

"Tidak, bukan mengapa. Tapi, apa."

"Baiklah," tawa saya pecah di udara. "Apa?"

Apa---ah, Joapa saja yang akan kita lihat kali ini di luar angkasa?



****

Mungkin planet tak berpenghuni. Mungkin pesawat alien. Mungkin supernova. Mungkin lubang hitam. Mungkin asteroid. Mungkin nebula. Mungkin pelangi yang membujur sampe Uranus. Mungkin Tinkerbell dalam perjalanan pulang seusai membaca buku Albert Camus. Mungkin bidadari yang lupa mengembangkan sayap. Mungkin kamu. Mungkin saya. Mungkin kita tersesat dalam 1Q84, karena Haruki Murakami rupanya tahu banyak hal yang tersembunyi. Mungkin pedang laser. Mungkin hantu langit. Mungkin bukan apa-apa. Mungkin pula sebuah perpisahan yang tak dinyana.

"Jadi, apa?"

"Apa yang bagaimana?"

Saya menurunkan lengan kemeja. "Apakah warna biru yang tertentu itu?"

"Oh, biru yang menandakan perpisahan?"

"Ya, sepertinya."

Jo tak langsung memberi jawaban. Jeda atau pun tidak, sebenarnya bukan masalah bagi saya, walau Jo seringkali berhenti di belakang pertanyaan, mencari kata-kata yang tepat, nada-nada yang enak untuk diucapkan. "Biru bunga Periwinkle," sahutnya kemudian dengan mulut yang bergerak penuh kehati-hatian.

"Apakah biru bunga Periwinkle itu kelir biru yang melankolis?"

Tatapan mata kami bertemu di kusen jendela. "Tepatnya kelir biru yang pernah membuat aku hampir menangis."

Setelah itu kami pergi ke luar angkasa. Saya tak menanyakan apa yang membuat Jo sempat nyaris menitikkan air mata. Ia bergerak di depan, membawa peta di tangan. Ada sekitar tiga belokan dari planet kelima yang kami kunjungi sewaktu Jo menahan saya dengan jemarinya yang keras batu, dan di telinga saya lewat suara lirih ia menyebutkan nama belakangnya.

---Saya tak membuang muka, saya juga tak melihat ada noktah biru bunga Periwinkle di segala semesta.



****

Tetapi tetap saya ingin mengenalnya sebagai Jo sa-ha-ja. Jo, dengan pelafalan 'o' yang ditekankan dan perlahan mengawang, membentuk semacam perasaan ngilu di kerongkongan---hanya Jo dan Jo sa-ha-ja, meski tak perlu saya jelaskan alasannya


Yogyakarta, 2014.

Dari Jo, ke Purwanto, ke nama-nama lain berakhiran -o. Sa-da-ko.



Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers