Kepada: Tuan Kelinci Penumbuk Moci di Bulan

Tadi siang, di kelas Matematika, saya tanpa sadar telah menggambar gadis ini di tepi lautan rumus dan simbol abstrak yang sedang terlibat peperangan hebat:


Jangan salahkan saya jika ia terlahir dengan wajah tak bahagia dihias mata asimetris melalui seperdua dari lima pasang jemari saya yang bahkan tak memiliki uterus.

Jangan salahkan saya.

***
Tuan Kelinci, saat gambar belepotan tinta biru itu terlahir, saya mendadak teringat percakapan yang berasal film animasi cantik yang tak bosan-bosan saya tonton hanya demi mendapati pipi sebelah kanan dan kiri saya basah oleh air mata dan air hidung. Percakapan yang berbunyi begini:

"Hey, they say, it's five centimeters per second."

"What do you mean?"

"The speed at which the cherry blossom petals fall: five centimeters per second."

Atau kurang lebih seperti itu, kira-kira.

****

Lima sentimeter setiap detik dan helai merah muda setipis cukilan permen kapas bertabur ke mana-mana.

Lalu tiba-tiba saya penasaran, mengapa mesti lima sentimeter, mengapa mesti angka ganjil, mengapa mesti bunga sakura, mengapa bukan kamboja putih, mengapa tidak serabut kemenyan, dan mengapa mesti merah muda, warna wanita. Mengapa, pada akhirnya, mengapa mesti wanita disandingkan dengan warna merah muda, sebab saya sendiri lebih menyukai warna putih ketimbang segala warna yang ada. Putih, plain, tak bercorak, tak bernoda---seperti segelas susu hangat yang tak pernah saya dapatkan saat sarapan maupun menjelang tidur malam, seperti sebuah kerinduan yang tak sedang dipastikan.

Percakapan ini saya ingat di suatu senja tanggung, di suatu sudut aula fakultas, memangku laptop, menundukkan kepala, menghadap orang banyak, memasang wajah tak peduli, melirik sesekali pada langit dan bertanya dalam hati, kapan dua kaki saya yang malas ini siap beranjak dan terseret sampai ke halte Trans Jogja, sembari sesekali mencuri pandang pada satu sosok familiar yang barangkali, sekarang, ia sudah tak mengenali saya lagi. Tak mengapa, karena saya memang tak berharap dan tak berpikir ke arah sana. Justru, malah, saya pikir, saya adalah tipikal yang gampang tak diingat dan juga gampang tak mengingat. Betapa ingatan yang memang sudah pendek menjadi semakin pendek dengan adanya rumus-rumus tak berbusana yang tanpa malu-malu mendobrak segala sudut memori otak saya dan segenap manusia lain di ruang segi empat ini. Namun, payahnya, atau, sialannya, semua tak berhenti sampai di sini saja. Pasalnya, tanpa saya perkirakan, sosok tanggung itu rupanya sempat menatap saya, beradu pandang, lantas melepas senyum---mungkin ia, bahkan, juga menyebut nama saya (lewat frekuensi di bawah batas pendengaran manusia, sebab saya tak mendengar apa-apa, hanya merasakan---melihat---bibirnya bergerak, lamat-lamat).

Tetapi, saya diam di tempat, tak memberi balasan apa-apa.

Tak paham harus bagaimana.

****

Tuan Kelinci, jujur saja, saya bukan seseorang yang pintar berinteraksi.

Tepatnya, saya tidak mengerti.

Ini memang tidak ada hubungannya dengan mochi yang terus-terusan kau tumbuk di saat purnama---kadang saya bertanya dalam batin, mungkin kau tidak sepenuhnya diam di sana, menunggu mochi yang terus kauuleni menjadi pulen dan siap dikemas. Barangkali yang kau tumbuk itu malah bukan mochi sama sekali. Bisa jadi emas, cokelat, pelangi, bahkan anak-anak---tapi saya tahu, kau bukanlah Tuan Kelinci yang sekejam itu. Kau bahkan lebih baik dari kelinci Alice yang mengumpannya datang ke Wonderland dengan kalung arloji tua yang terlihat mahal. Tetapi, baik Ibu atau pun Bapak tak pernah sekali pun menceritakanmu sebagai dongeng masa kecil. Kau tak pernah ada di sela dongeng Petruk-Gareng, Kelinci-Petani, Kelinci-Macan, Kelinci-Buaya, dan bintang cerita fabel lain yang acapkali dikisahkan pada saya, sebuah cerita omong kosong yang meski saya paham berupa bualan belaka, tetap saja tak pernah saya tolak kehadirannya.

Namun kamu berbeda, kamu tak pernah ada di ingatan saya, tak pernah diundang sepenuhnya.

"Kau tahu, di bulan tidak ada kelinci!"

"Tidak, tidak, dia ada, kamu hanya sedang tak beruntung."

"Dia tidak ada--demi Tuhan, apa kau sakit jiwa---dan bagaimana bisa saya tidak sedang beruntung?"

"Siapakah yang dapat membedakan mana yang gila, mana yang bukan, mana yang waras, mana yang pesakitan. Di sebuah dimensi lain, saya yakin, sayalah yang seharusnya berkata---demi Tuhan, apa kau sakit jiwa?"

"Sudah, sudah, lupakan, lupakan!"

"Saya memang tak ingin mengingatnya."

"Dan bagaimana bisa saya tidak sedang beruntung---kau belum menjawabnya!"

"Aha, kau tak akan percaya."

"Siapa bilang saya akan?"

"Ada kelinci di bulan, perak abu-abu."

"Penumbuk mochi?"

"Penumbuk mochi."

"Lalu saat gerhana..."

"Ia termakan umbra-penumbra."

"Seperti kembali pada liang induknya sendiri?"

"Ya, dan pada saat purnama..."

"Ia terlahir kembali?"

"Tepat, dan masih menumbuk mochi!"

"Kau memang sakit jiwa."

Tuan Kelinci, jujur saja, saya bukan seseorang yang pintar bereaksi.

Tepatnya, saya tidak mengerti.

Tidak pula  ingin.
****


Barangkali ada hari di mana kau tiba-tiba menyusup di antara kenangan dongeng masa kecil saya, tumpang tindih dengan Snow White dan Sleeping Beauty yang masih tertidur pulas, membawa mochi, menyamar sebagai Pangeran Sempurna berkuda putih, lantas jatuh secara cepat dari lubang langit dengan kecepatan lima sentimeter per detik.

Lima sentimeter per detik---saya mulai bertanya, berapa lama jarak antara bulan yang tengah bulat purnama dan sisi selatan Yogyakarta, dan bila tak terlalu jauh, dapatkah kita menumbuk mochi bersama, menyulam adonannya menjadi benang kenyal penghubung kolong langit dan pusat magma.

Tapi tak mengapa, kau boleh menjawabnya lain kali saja.



Yogyakarta, 2012

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers