Sedikit Tentang Cita-cita

Sewaktu menginjak sekolah dasar, saya masih setia menanggapi pertanyaan seputar cita-cita dengan jawaban yang sama: saya bercita-cita menjadi dokter.

Setidaknya sampai menginjak kelas dua sekoah dasar, ketika saya benar-benar jatuh cinta dengan dunia seni, dan humaniora.






Berawal dari sebuah malam di mana saya secara tak sengaja menilik ulang karya-karya lama yang tak pernah lagi tersentuh, sedikit kaget bahwa ternyata saya pernah benar-benar menelurkan sesuatu yang demikian berbeda dari diri saya sehari-hari. Saya yang biasanya pendiam, dapat berubah menjadi seorang yang bernafsu besar, atau seorang pengidap skizofrena, atau seorang pembunuh bayaran, atau 'seorang' dedemit, atau seorang lolicon, dan hal-hal lain yang jauh dari kenyataan yang ada, ketika saya berhadapan dengan pena, kertas, dan layar komputer. Imajinasi itu mengalir begitu saja, saya membayangkan apa saja yang tak dapat saya temui. Perlu rasanya saya bersyukur dan berterimakasih kepada pemerintah, sebab setidaknya mereka tak melarang saya untuk berandai-andai, meski siapa yang dapat menjamin bahwa saya tak mengkhayalkan wajah-wajah parlemen tengah berebut bola gundu di balik jeruji bui, atau terjungkal ke dalam kandang singa yang belum makan selama tujuh hari.


(karya saya sendiri)


Tapi stop sampai di situ, saya tak ingin membahas kegilaan otak saya lebih lanjut.

Setiap manusia pasti punya mimpi, bahkan hewan pun barangkali demikian. Well, saya rasa hal tersebut wajar, sewajar kebutuhan dan keinginan akan pemenuhan pangan, papan, dan sandang yang baik. Baik, elit, berkelas---maksudnya, siapa yang tidak menginginkan hal demikian? Atau sempitnya saja, siapa yang tidak ingin bahagia, terlebih konteks kebahagiaan itu sesuai betul dengan standar yang telah ia pasang?

Di usia lima tahun, untuk pertama kalinya, saya mendengar kata 'cita-cita'. Ibu guru di taman kanak-kanak tempat saya sekolah (saya lebih senang menyebutnya bermain) secara random bertanya mengenai cita-cita apa yang ingin dicapai oleh murid-muridnya. Saya, waktu itu, masih merupakan anak manis yang senang berbicara keras-keras dan menendang pantat teman laki-laki. Saya bilang, saya bercita-cita menjadi dokter. Suara saya kala itu mantap, tak bergetar atau pelan seperti sekarang. Ibu guru lalu bertepuk tangan, seakan-akan saya ini tontonan sirkus. Namun tak mengapa, saya tersenyum bangga, lega karena telah berani mengungkapkan apa yang sepintas melesat di otak.

Sewaktu menginjak sekolah dasar, saya masih setia menanggapi pertanyaan seputar cita-cita dengan jawaban yang sama: saya bercita-cita menjadi dokter.

Setidaknya sampai menginjak kelas dua sekoah dasar, ketika saya benar-benar jatuh cinta dengan dunia seni, dan humaniora.
****



Saya berasal dari delapan bersaudara, lima laki-laki, tiga perempuan. Saya, secara suratan, terlahir sebagai anak bontot. Dapat dikatakan, dari tujuh saudara yang saya miliki itu, kakak pertama saya merupakan tokoh yang paling mendominasi.


Lahir sebagai laki-laki dari dusun kecil di Madiun, Jawa Timur, tidak pernah membuatnya malu jika berhadapan dengan rekan kerjanya yang kebanyakan berasal dari negara-negara besar di belahan Eropa. Nah, apalagi yang dapat saya katakan, namun kakak pertama saya memang luar biasa genius. Lulus dari Fakultas Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada hanya dalam kurun waktu tiga setengah tahun, IPK cumlaude, menerima tawaran kerja di perusahaan minyak asing bahkan sebelum wisuda, meminta ayah saya berhenti mengajar, lantas menghidupi ketujuh adiknya seorang diri, working his ass off for the sake of those he love. Bagi kami, adik-adiknya, beliau adalah sosok yang sangat kami hormati. Mungkin karena, baik secara langsung maupun tak langsung, kami merasa berhutang besar, sehingga sebisa mungkin kami dapat membayar ulang apa yang telah ia berikan.

Namun, rupanya, yang dapat memenuhi ekspektasi beliau hanya saya seorang.

Banyak yang mengatakan kami mirip, entah fisik atau psikis---bedanya, ia lebih tinggi, dan kurus. Awalnya, saya percaya saja akan segala yang orang-orang katakan mengenai kami, saya tak pernah berpikir bahwa itu adalah hal yang buruk. Namun semakin ke sini, saya semakin tak ingin disamakan dengannya. Saya tak sepintar itu, sungguh. Saya bahkan tak pernah memenangi olimpiade fisika atau matematika seperti yang kerap beliau alami. Alih-alih, saya membawa pulang piala yang saya dapat dari lomba menulis, menggambar komik, atau membaca puisi. Saya juga tidak seterobsesi itu dengan eksakta. Ada kalanya saya senang mengutak-atik rumus, atau menyelesaikan permasalahan kimia secara matematis, namun jika dibandingkan dengan minat saya pada literatur, perbedaannya terlalu jauh.

Saya pernah berkata akan mengambil kuliah di fakultas sastra.

Beliau menolaknya mentah-mentah.

Lalu saya berusaha meneruskan cita-cita belia saya: menjadi seorang dokter.

Ketika saya gagal diterima di Kedokteran Umum UGM dan UNS melalui jalur SNMPTN Undangan, saya akhirnya sadar bahwa saya tak memiliki pilihan lain.

Bodohnya, saya menyerah begitu saja.

Selang beberapa bulan kemudian, saya (dengan berat hati) mengambil pilihan di Fakultas Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada, atas dasar keputusan dan 'saran' dari keluarga besar.

Naasnya, saya lolos, saya diterima.

****



Saya tak akan mengelak jika dibilang, saya orang yang tak pandai bersyukur. Setelah saya pikir-pikir, saya mungkin memang seperti itu.


Saya sadar, di luar sana, bahkan, ada banyak jiwa yang ingin bertukar posisi dengan saya. Dan itu justru membuat saya merasa lebih buruk, lebih jahat. Mungkin ada yang sudah lama bercita-cita belajar di sini, di kursi yang saat ini tengah saya duduki, di fakultas yang tiap hari saya kunjungi. Mungkin ada yang sudah berusaha selama bertahun-tahun untuk berada di tempat yang saya raih, tetapi ia kalah, gagal, oleh orang semacam saya. Betapa jahatnya, merenggut impian orang lain dan tak memberi pertanggungjawaban. Barangkali seperti inilah rasanya menjadi tokoh antagonis yang ada dalam buku-buku tebal yang sering saya selami; tokoh antagonis yang bahkan tak menyadari bahwa posisinya merupakan villain.

****



Lalu, sebenarnya, cita-cita apa yang saya miliki?


Sejak kecil, saya tak pernah dapat tidur tenang jika pagi harinya saya bertemu dengan 'orang-orang yang saya pikir perlu saya bantu'.

Ada yang ingin saya lakukan, banyak sekali, selain bekerja di gedung bertingkat yang membuat saya mesti naik lift setiap harinya, atau lalu lalang di lepas pantai, tengah laut, tengah gurun, demi menciduk bergalon besar minyak bumi mentah. Ada yang lebih saya pikirkan ketimbang rumus-rumus yang berjejeran, membentuk diary dalam bahasa alien.

Kadang saya berada di tengah pertunjukan seni tradisional, berdecak kagum, bertepuk tangan macam gadis kesetanan di pagi buta, kemudian pulang dengan hati riang dan bibir berdendang. Kadang saya berhenti di pinggir jalan, memberi permen pada pengamen kecil yang tengah menyanyi ala kadarnya, atau uang kecil yang menyusup di saku celana, kemudian mengajarkan mereka lagu-lagu macapat yang saya tahu. Kadang saya larut dalam musik, bernyanyi layaknya Beyonce di kamar mandi, atau membayangkan diri sebagai murid Mozart yang selamat sampai di abad dua puluh satu, melintasi waktu. Kadang saya menitikkan air mata ketika membaca literature klasik, novel-novel karangan penulis hebat, dan menuangkannya dalam galon ide yang saya simpan baik-baik di otak kanan. Kadang saya berdecak kagum sehabis menonton film animasi keluaran Studio Ghibli, atau Pixar, atau DisneyToon, atau Madhouse, atau DreamWork Animation, atau CoMix Wave Inc. dan berpikir, alangkah kerennya, jika suatu saat nanti, karya saya pun dapat dianimasikan oleh studio-studio ternama tersebut. Kadang saya geleng-geleng kepala menyaksikan anak usia di bawah sepuluh tahun fasih menyanyikan lagu-lagi cinta, menonton drama televisi yang sarat bumbu kehidupan manusia dewasa, bahkan bolos sekolah demi menonton idola mereka yang rata-rata merupakan penyanyi remaja asing, atau anggota boyband dalam negeri.

Saya bisa jadi bukanlah tipikal manusia yang senang turun ke jalan, membentuk komunitas peduli, mengatasnamakan mahasiswa, atau semacamnya. Saya tak pernah mengerti, apa yang menjadikan status mahasiswa itu begitu terdengar elegan. Toh, saya merasa, saya tak ada bedanya dengan manusia lain, entah status apa pun yang tengah saya sandang saat ini. Satu-satunya status yang dapat saya sandang barangkali hanyalah jabatan saya sebagai manusia, sebagai benda hidup. Saya, sebagai manusia, sebagai benda hidup, saya bernapas, saya memakai pakaian, saya berpikir, saya berhasrat, saya berkeinginan, saya berciri, dan saya bercita-cita.
****


Saya hanya ingin menghentikan posisi saya sebagai black hat ini untuk secepatnya.

Jika ditanya apa cita-cita saya, well, saya akan memberi jawaban berbeda, tergantung dari perspektif yang saya punya.

Cita-cita saya tiga hingga empat tahun ke depan hanya satu: berhenti menjadi bad guy  dan lulus dari institusi tempat saya menuntut ilmu ini, kalau bisa dengan nilai yang tak jelek-jelek amat, meski tak sempurna. Yah, mungkin selanjutnya saya harus belajar memaksimalkan diri, tak lagi setengah-setengah, menjalani apa yang memang telah dibebankan pada punggung saya, apa yang telah dipercayakan pada telapak tangan saya yang tak lebih besar dari buah melon. Setidaknya, jika cita-cita yang satu ini tercapai, saya dapat menginjak tangga selanjutnya, meneruskan impian saya yang sebenarnya:

Menjadi penulis, kembali mendalami musik dan piano, meneruskan hobi menggambar, menerbitkan novel demi novel, kumpulan kisah pendek, menyusun buku yang kira-kira cocok dibaca oleh anak-anak, membuat studio animasi yang tak kalah hebat di kota kesayangan saya, Yogyakarta, mengenalkan seni tradisional Indonesia kepada dunia luar, membuka sanggar karawitan, sanggar teater, sanggar tari, mendirikan sekolah terbuka bagi anak-anak kurang mampu, pondok belajar keterampilan, menyalurkan hobi masak lewat usaha kuliner, sukses dalam wirausaha, memiliki butik dengan rancangan buatan sendiri, menikah, lantas tinggal di sebuah rumah kayu semi-modern yang tak terlampau besar, dan menjadi seorang Ibu.

Saya hanya kepingin  meninggalkan jejak.
****


Entah mengapa, aku mulai menulis, mengingat mimpi-mimpiku malam hari, merahasiakan, menyimpannya sendiri.
Mungkin karena itu, aku berani bermimpi.

(Nukila Amal, dalam bukunya, Cala Ibi)
****

Tengah malam

Yogyakarta, Juli, 2012

Ditemani alunan lagu dari GAIA, Love Exists.

Comments
One Response to “Sedikit Tentang Cita-cita”
  1. goodluck with your dreams aya :)
    i believe you can make em come true :)

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers