Budaya Menyontek

"Kalau yang lain pada nyontek, kamu kenapa nggak ikut nyontek aja?"


(gambar diambil dari http://edge.ebaumsworld.com )

Sering saya  bertanya, apa gunanya sekolah selama dua belas tahun jika yang diinginkan hanya deretan nilai pada selembar kertas. Saya berkata begitu, sebab saya percaya bahwa kecerdasan tak bisa diukur lewat tiga puluh soal pilihan ganda ditambah lima uraian. Yang memang cerdas di matematika, tentu akan bersinar di matematika. Tapi bagaimana dengan mereka yang cerdas di bidang lain, seni rupa, misalnya, namun 'agak buta' jika sudah dijejerkan dengan matematika? Jawabannya macam-macam. Ada yang berusaha menutupi kekurangannya, ada yang minta ajar sana-sini, namun ada juga yang diam, menyiapkan formula dalam secarik kertas kecil yang dirobek asal-asalan, dan, Voila! Begitu ujian selesai, nilai tujuh puluh sampai seratus tertempel di pojok kanan atas kertas ujian yang dipulangkan.

Orang tua juga kadang tak membantu lebih, beberapa bahkan cenderung memojokkan dan mempertanyakan intelegensi anaknya lewat raport bersampul biru yang diterima di akhir semester. Kok bisa segini nilainya? Kok nggak segitu? Sudah disekolahin mahal-mahal cuma bisa bikin malu orang tua?

Belum lagi, hal-hal di sekitar siswa yang membuatnya takut akan mendapatkan nilai buruk. Gengsi terhadap teman, malas mengulang, sampai cibiran guru, memotivasinya untuk mencari jalan pintas mendapatkan nilai di atas standar.






Menyontek (bukan mencontek) diambil dari kata dasar sontek (bukan contek) merupakan hal yang bisa jadi sudah sangat lumrah dalam dunia pendidikan, khususnya di negara kita. Bagaimana pun saya tak menyukai gaya hidup kebarat-baratan, tapi harus saya akui bahwa orang barat memang lebih open-minded, khususnya dalam masalah-masalah yang menyangkut masa depan seperti ini. Coba bandingkan dengan sistem pendidikan di sini, soal UAN saja bisa bocor, bisa terjadi banyak kasus kecurangan, apalagi ujian sekolah biasa tiap semesternya. Nah, sudah begini, tahun depan SNMPTN tulis hendak ditiadakan. Weleh-weleh. Bagi siswa yang memang benar-benar cerdas, segala dia peroleh dari hasil usaha sendiri, jerih payah sendiri, ya nggak apa-apa, memang berhak. Namun bagi siswa yang nilai raportnya saja merupakan refleksi dari celinguk kanan kiri, tengok atas, tengok bawah, dan semacamnya, apa nggak kasihan?

Ya kasihan siswa yang benar-benar belajar, berusaha, tapi kalah dengan mereka-mereka yang menyontek. Ya kasihan juga sama mereka-mereka yang menyontek, bisa-bisa mengalami shock sesaat begitu memasuki kuliah. Lagi-lagi pilihannya pun bermacam-macam, entah dia mau berhenti menyontek dan mencoba memahami apa yang diwajibkan kepadanya, atau meneruskan kegiatan rutin mendebarkan yang sudah digeluti semenjak sekolah, dan lanjut seperti itu sampai bekerja, sampai menikah, sampai berumah tangga.

Universitas tempat saya meraih ilmu sekarang memang bisa dikatakan "wow, prestige-nya tinggi" di Yogyakarta saya yang tercinta ini. Tapi ya itu, prestise yang diincar kadang berlebihan, sehingga apa-apa mesti sempurna, meski memakai cara yang tidak sehat, biar dikatakan kuliah di sini nggak sekedar numpang dan setor nama saja, dibuktikan dengan IP yang bertabur huruf A. Well, saya sudah bertemu banyak sekali manusia-manusia jenius di prodi saya yang memang benar-benar pantas menyandang IP sempurna bertabur huruf A, tipikal manusia berotak super yang dulunya saya kenal lewat komik saja. Saya mulai merasa, wah, memang tidak salah jika perguruan tinggi ini diincar oleh banyak kalangan---kebanyakan mahasiswanya luar biasa pintar. Tapi, sekitar dua bulan silam, ada kejadian yang membuat saya kecewa.

Kebetulan, saya mengambil kelas kewarganegaraan di mana populasi mahasiswa yang berasal dari prodi saya hanya tiga orang, dikarenakan kalah balapan mengisi buku pendaftaran. Awalnya, saya pikir, tidak apa-apa. Toh, hitung-hitung, biar saya tahu sistem belajar mahasiswa dari prodi-prodi lain itu seperti apa. Namun saya kecewa, sungguh kecewa. Kekecewaan saya memuncak saat Ujian Akhir Semester. Sangat disayangkan, kelas kewarganegaraan yang mestinya tak diwarnai dengan hal-hal menyimpang, ironisnya, sebagian besar dari mahasiswanya justru melakukan kecurangan. Lantas apa yang dilakukan oleh pengawas ruangan? Bah, pengawas ruangan yang merupakan kumpulan ibu-ibu itu justru berkumpul di depan pintu, merumpikan entah apa, tak peduli. Saya paham, mungkin beliau-beliau capek, mesti menjaga ruangan ujian di siang hari yang terik hingga pukul enam sore. Mungkin beliau-beliau tengah memikirkan makan malam apa yang harus dimasak, tumpukan baju yang belum disetrika, pertengkaran dengan suami saat sarapan, atau lainnya.

Jika ada yang mesti disalahkan, maka semua terkena jatah masing-masing. Pelaku kecurangan yang tega-teganya menyontek terang-terangan dan mendapat nilai A sempurna dua minggu setelahnya, penjaga ruangan yang bisa-bisanya lalai, dosen yang menuntut mahasiswa untuk menjawab persis dengan apa yang ia ajarkan, tak boleh tidak, sehingga mendorong mahasiswa untuk melakukan pelanggaran, dan kami yang tak terlibat dalam kecurangan, namun hanya bisa diam, menggerutu di akhir sewaktu mendapati nilai kami tak jauh lebih baik dari pihak-pihak yang menyontek.

Tapi belajar tak sebatas soal nilai, sebagaimana memasak tak sebatas soal rasa. Fast food, sebagai contohnya, memang cepat dimasak dan memiliki rasa yang enak, namun kandungan lemak, minyak, dan garamnya tinggi, sehingga membahayakan kesehatan. Bandingkan dengan sup sayuran yang memasaknya memerlukan proses lebih---rasanya pun kalah enak jika dibandingkan burger atau hot dog, namun kandungan gizi dan vitaminnya melimpah. Orang kadang enggan berusaha memasak sendiri karena takut hasil yang didapat tak enak. Sementara jika membeli makanan di luar, kelezatan masakan tersebut sudah terjamin. Sama halnya dengan belajar di sekolah, di universitas, bahkan di kehidupan bermasyarakat. Menyontek menandakan ketakutan seseorang akan sebuah kegagalan, sehingga ia selalu menginginkan kesuksesan meski harus menempuh cara cepat yang tak sehat. Tapi kegagalan seringkali menjadi akar dari kesuksesan itu sendiri. Hari ini saya gagal, kemarin saya gagal, berarti besok saya tak boleh gagal---atau setidaknya, saya mesti sedikit lebih baik dari kegagalan saya di hari ini.

Saya percaya bahwa orang sukses adalah orang yang pernah merasakan kegagalan. Sebab dari kegagalan itu, ia memiliki cerminan, memiliki standar, memiliki target yang mesti ia lampaui. Kawan-kawan seprodi saya yang super genius itu pun, saya percaya, pasti juga pernah merasakan kegagalan, entah di bidang apa. Setiap manusia sekiranya memiliki kelemahan yang acapkali menjadi titik kegagalannya. Tapi menghalalkan segala cara demi menghindari suatu kegagalan terulang kembali sama sekali bukan tindakan yang perlu diacungi jempol. Anggap saja, sekarang, kegagalan itu seorang teman. Kita tak akan mengenal seorang teman dengan baik jika kita tak berusaha untuk bisa. Begitu pun dengan kegagalan, kita tak akan mampu mengenal kegagalan kita sendiri jika yang bisa kita lakukan hanya menghindarinya, tak berusaha mengenalnya, tak berusaha mempelajarinya. Melakukan kecurangan sama artinya dengan mengusir kegagalan itu dengan tiba-tiba, bukannya memberinya kesempatan untuk berubah menjadi sebuah kesuksesan, atau setidaknya kegagalan lain yang lebih ringan, semakin ringan, hingga ia bukanlah bagian dari kegagalan itu lagi.

Jadi, lain kali, jika masih ada yang bertanya, ""Kalau yang lain pada nyontek, kamu kenapa nggak ikut nyontek aja?"

Saya akan dengan tenang menjawab, "Well, saya tak dapat mengusir seorang teman."


Yogyakarta, Agustus
2012

ditemani alunan lagu dari Coldplay,
Fix You.

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers