Puteri Labu dan Pemburu, Part 1


Puteri Labu dan Pemburu

Kuingatkan padamu bahwa ini adalah sebuah dongeng kekanak-kanakan yang sesungguhnya tak layak dibaca. Dan karena ini sekedar dongeng picisan, aku tidak menyarankanmu membacanya keras-keras di tengah pelataran, apalagi di liang telinga nenekmu yang tengah meregang di bawah lumatan serigala. Maka jika kau bukanlah manusia berambut helai permen dan berpiyama sulaman kapas awan, melainkan makhluk dewasa dengan alis mata busur panah dan bibir yang menyeloroh, lebih baik kau segera meninggalkan halaman ini dan kembali pada duniamu yang sungguh, sungguh, tak lepasnya warna-warna hitam-putih-kelam-metalik yang ditata berulang-ulang, dan tak usah lagi kembali.
 



Alkisah, di sebuah negara antah berantah---sebab dongeng harus kubuka dengan sesuatu yang mengambang, tak diperjelas---hidup seorang puteri yang suka bersembunyi dalam labu oranye raksasa acapkali purnama bulat tiba. Tidak, puteri itu tidak gila, ia mungkin hanya memiliki sedikit gangguan jiwa. Kau pasti bertanya-tanya mengapa gerangan puteri itu mesti menyembunyikan tubuh aristrokatnya di dalam labu raksasa yang telah diukir layaknya hiasan-hiasan Halloween. Bisa saja dia seorang maniak---aku tak menyalahkanmu jika kau memang berpikir demikian, sebab aku pun tak tahu, labu itu pun tak tahu. Tak ada satu nama pun yang tahu alasan kuat dibalik tingkah laku sang puteri, maka setiap kali bulan purnama terlahir penuh bak kuning telur, semua akan berpura-pura bahwa sang puteri, seperti malam-malam biasa, tengah tertidur di kamarnya yang berada di pucuk istana, bukannya melarikan diri dari jendela dan bersembunyi di dalam tubuh labu raksasa.

Mungkin ia memang benar-benar seorang maniak pada akhirnya.

***

Ia sangat lapar, barangkali ia sudah tak makan berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, atau berwindu-windu, atau hanya beberapa jam lalu yang terasa seperti satu dekade---entahlah, ia hanya tahu bahwa perutnya sedang melilit hebat dan satu-satunya makanan yang ia temui di tengah hutan ini adalah labu oranye raksasa yang diukir sedemikian rupa sehingga cukup ampuh membuat siapa saja yang melihatnya lari tunggang langgang.

Tapi pemburu itu tidak bodoh, terlalu cepat seratus tahun untuk memanggilnya demikian, maka ia dekati saja labu raksasa yang mengingatkannya pada kereta Cendrillon itu, sebelah tangannya menahan getaran lambung yang makin menggoncang---sepintas ia teringat akan ikan koi peliharaannya yang belum sempat ia kuburkan. Labu itu tampak aneh, well, dari awal saja, adanya sebutir labu raksasa yang tergeletak di tengah hutan dengan ukiran khas Halloween sudah merupakan hal yang aneh, namun keanehan itu semakin menjadi seiring dengan langkah si pemburu yang semakin mendekat.

Tap, tap, tap, ia baru sadar bahwa labu tak seharusnya memiliki jendela, bahwa lampu tak seharusnya memiliki pintu dan tak seharusnya pula memiliki kelambu serta ventilasi udara. Mungkin Cendrillon memang benar-benar meninggalkan labunya di sini, atau ia dan sang Pangeran Mempesona telah terlalu nakal sehingga kereta labu miliknya pun minggat, meninggalkan dua pasang roda beserta kusirnya di garasi istana. Tetapi, kereta Cinderella, seingatnya, tak memiliki cerobong asap mengepul dan nyala lampu yang hidup-redup-hidup-redup. Maka ia kembali menjejakkan telapak kakinya, lantas melongokkan kepalanya pada sela-sela ventilasi yang malu-malu terbuka.

Ia tak seharusnya jatuh cinta dengan apa yang ia dapati selanjutnya.

***

Ia tak seharusnya jatuh cinta.

Purnama penuh tiba, dan seperti biasa, ia menyelinap keluar dari jendela kamarnya yang terletak di pucuk istana, berpura-pura tak ada yang tahu bahwa ia bersembunyi di sebuah labu oranye raksasa di tengah hutan rimba. Ia tahu bahwa semua penghuni istana tahu bahwa ia suka menyelinap keluar acapkali bulan purnama tiba lantas mengendap ke tengah hutan rimba, menyembunyikan tubuhnya yang memantulkan sinar keperakan bulan pada labu oranye raksasa---puteri itu tahu bahwa mereka tahu, hanya saja mereka berpura-pura bahwa mereka tidak dan puteri itu pun berpura-pura bahwa mereka tidak, segalanya mengalir macam perjanjian yang tak disepakati secara lisan.

Mungkin ia adalah seorang maniak, mungkin saja, ia sendiri tak dapat memastikan.

Tapi ia telah jatuh cinta, baru saja, puteri itu telah jatuh cinta, dengan laki-laki yang ia bahkan tak tahu namanya dan tak tahu sebenarnya ia berwajah seperti apa.

Ia baru saja menyisir rambutnya yang sutera hitam ketika ia merasakan ada langkah kaki perlahan-lahan, tap-tap-tap, mendekati labu raksasanya. Suara langkah kaki itu mendekat, mendekat, dan semakin mendekat, puteri itu menajamkan cuping hidungnya dan menghirup udara malam yang masuk dari ventilasi labu raksasanya dalam-dalam, merasakan bau kelelaki-lekakian yang baru pulang dari perburuan panjang menyelimuti selaput paru-parunya, kemudian degup jantungnya berdenyut cepat. Bohong jika ia berkata bahwa ia tak ketakutan, karenanya ia berdoa, mendoakan apa pun yang ia bisa---lenguh napas bariton terdengar di balik jendelanya, lantas ada sebuah keberanian yang mendorongnya untuk mendongak, mengarahkan matanya pada ventilasi udara yang malu-malu terbuka.

Ia bersyukur bahwa yang mengintipnya ternyata bukanlah Ogre, raksasa tua mesum, atau kurcaci penyingkap kelambu, melainkan sepasang mata zamrud jelita yang memendamkan diktum kekuningan purnama, meruncing di ujung dengan begitu martirnya, begitu lelakinya.

Dan ia tak seharusnya jatuh cinta, saat itu juga.


Bersambung

Yogyakarta, 2012.


Cinderella = Cindrellon


Comments
2 Responses to “Puteri Labu dan Pemburu, Part 1”
  1. bagus sekali aya :D
    super sekali bahasanya
    ditunggu kelanjutannya

  2. Salam kenal. keren banget karyanya ^^

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers