Bekukan Segalanya!


Di tengah kesibukan hidup yang dibuat-buat dan semakin menjadi ini, kadang saya berpikir, alangkah asiknya jika saya memiliki sebuah tombol yang dapat mem-pause-kan (entahlah, apakah ini bahkan dikategorikan sebuah kata, saya tidak tahu) waktu tanpa menghilangkan aliran oksigen yang perlu saya hirup, dan segala aktivitas yang ada di sekitar saya terhenti tiba-tiba, seperti visualisasi yang sering ditampilkan pada film-film sains fiction dan semacamnya. Bayangkan saja, waktu terhenti, gerakan setiap manusia kecuali sampeyan terhenti, gravitasi terhenti, tetapi jantung sampeyan tidak terhenti, sirkulasi pernapasan sampeyan tidak terhenti, dan pada akhirnya, sampeyan dapat melepaskan diri dari segala urusan nan membelit otak, mengendurkan syaraf, menghirup udara segar dalam-dalam, tanpa membuang satu detik pun jatah waktu yang sampeyan punya, terkorban sia-sia.

Oke, saya memang dramatis, tapi dengan urusan hidup yang semakin rumit dan dunia makhluk dewasa yang pelik serta selalu tak dapat saya mengerti, tuntutan untuk ini-itu-ini-itu, jangan begini-jangan begitu, saya sudah bukan anak umur segini lagi-bukan segitu, revisi sana-revisi sini, belum lagi jatah mengajar yang harus dikikis sedikit-sedikit demi menutupi kekurangan waktu, rasanya ingin sekali saya mengepak baju, menggeret koper, dan pergi ke tempat sepi terdekat dengan langit teduh dan pepohonan hijau, kemudian berteriak... uh, berucap pelan: man, give me a break.

Just give me a break.

Bekukan segalanya.
****


Rasanya sedang ingin sekali pergi ke Dieng, Jawa Tengah.


sumber: nyoh

Juga ke Ubud, Bali.


sumber: nehki

Dan ke Batu, Malang!


sumber : meneh

Yep, saya nggak pernah menjadi beach-person, terus terang saya malah tidak tahan jika berada di pantai terlalu lama. Tentu saja, ada beberapa pulau dalam negri dengan pantai cantik dan air laut jernih yang ingin saya kunjungi, tapi itu pun, saya tidak jamin akan betah berada di kawasan pinggir lautnya terlalu lama. Paling lama mungkin dua jam, dengan perkiraan darah rendah saya tidak akan kumat. Makanya, saya baru bisa menikmati pantai di malam hari, ketika suasana tengah sepi, dan yang sanggup saya dengar hanya debur ombak dipadukan angin yang menyibak permukaan daun nyiur, sayup-sayup (kalau sudah begini, siapa saja tentunya akan membayangkan sedang membintangi adegan salah satu film layar lebar, apalagi jika musik melankolis turut dimainkan sebagai latar).

Untuk berbagai kesempatan sendiri, saya lebih menyukai tempat-tempat seperti yang saya tampilkan di atas; tempat-tempat yang cenderung dingin (sayangnya, kalau sedang ndak fit, alergi dingin saya bisa kumat, banget), banyak pepohonannya, dan kalau bisa, tidak terlalu tinggi---atau paling tidak, jangan curam, jangan sampai saya melihat dasar---sebab saya phobia ketinggian, akut. Lalu, lalu, saya suka sekali danau! Saya ndak mengerti penyebabnya, tetapi danau selalu membawa efek dan nuansa tersendiri. Mungkin karena, dalam pandangan saya, danau terkesan lebih misterius dibanding laut yang lebar dan mbluber  ke mana-mana hingga kita hanya melihat sepersekian bagiannya saja, dan ia tak se-bertele-tele sungai yang mesti membuka cabang di sana-sini, berhulu ke sana, berhilir ke sini. Danau itu, entahlah, dia begitu pas, begitu utuh, satu kesatuannya dapat kita lihat langsung, di mana batas-batasnya berada, di mana dia berakhir dan di mana dia bermula, tanpa koreksi mata.



somebody take me there, now! (source: monggo )

Dan, benar, kan?

Seandainya saja tombol pause-play itu ada, dan hanya saya sendiri yang punya (maruk), mungkin saya sudah pergi ke salah satu dari tiga tempat yang sudah saya mention di atas sekarang, atau malah ketiga-tiganya sekalian---berarti, dalam artian lain, sebentar... Kenapa saya tidak membayangkan saja seandainya pintu ke mana saja itu ada?

Kenapa tidak langsung saja, seandainya Doraemon itu benar-benar ada?

****

Jujur, lho, sampai sekarang, saya masih berharap, suatu hari nanti saya akan terbangun di sebuah pagi yang damai, burung-burung bercicit riang, matahari tak kelewat terik, tak ada sumpah serapah di antara kucing-kucing yang hendak kawin namun sok jual mahal dan malu-malu, tak ada laporan, tak ada segala macam tugas, masalah pelik, beban masa depan, dan di atas meja belajar ada tiket wisata ke Dieng, atau ke Batu, atau ke Ubud, lalu saya, yang masih mnegantuk dan belum ngeh sempurna, menyalakan telebisi tanpa ada buruk sangka dan wajah tak berdosa, lalu seluruh stasiun yang ada entah negeri entah swasta serentak menyiarkan bahwa Doraemon telah berhasil diciptakan, atau bisa jadi ditemukan malah, sama saja.

Jujur, lho, saya pikir, bukan saya saja yang berharap ini kenyataan.

****

Tapi saya dapat membayangkan suara-suara itu berbarengan menyuruh saya untuk tak berfantasi macam-macam, sebab orang dewasa tak berpikir dengan cara demikian. Sebab saya harus berpikir soal masa depan, soal jalan mana yang harus saya tempuh, soal retakan mana yang tak boleh saya titi, dan jika saya kelelahan, saya tak dapat mematikan waktu maupun menghentikan putaran dunia sebab saya tak punya tombol pause-play atau pun pintu ke mana saja tau pun Doraemon atau pun orangtua peri berambut hijau dan merah muda.

****

Namun tak mengapa, saya cukup mematikan panca-indra di pelupuk matamu saja.

****

Dan bekukan segalanya.




Yogyakarta, 2012



Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers