Suatu Sore, Wangi Kopi Menggantung di Lubang Hidung Saya


Sebuah cerpen singkat semi-ringan setelah lama tak produktif.





Suatu Sore, Wangi Kopi Menggantung di Lubang Hidung Saya

Mana yang lebih membosankan, menunggu kepastian yang tak dapat digaransi kapan ia akan tiba, atau menjalani kenyataan yang sama sekali berlawanan dengan dunia yang selama ini selalu kau bayangkan bahkan sampai di alam bawah sadarmu sendiri?

Bagi saya, keduanya sama saja buruknya, maka saya tak memilih.

Tapi hidup selalu memiliki liku yang tak terduga---dan sekarang, di sinilah saya, duduk diam di emperan café kecil yang berdesakan dengan hiruk pikuk manusia, membiarkan sepasang lubang hidung saya mencium wangi kopi yang terangkat naik oleh udara, tanpa membolehkan mulut saya yang semakin kering oleh liur untuk mengecapnya. Ada sebentang senja yang mulai ditampakkan oleh gurat-gurat langit, dan tiba-tiba saja kelopak mata saya memberat---sebab saya tahu bahwa, bila sudah begini, malam akan segera menjatuhkan tinta hitamnya pada rahim langit, dan hari akan menggelap, dan saya masih akan duduk diam di sudut terjauh café ini dengan masih tanpa memajukan bibir saya barang satu centi pun mendekati gelas kopi saya yang kian senyap, dan orang-orang lalu memandangi saya lewat tatapan yang tak mampu saya terjemahkan secara eksak---entah kasihan, entah jengkel, entah ketakutan---dan pada akhir segalanya, saya akan kembali menertawakan kebodohan saya sendiri sebab ternyata, dia tak datang, tak jadi datang.

Sebab ternyata, dalam kisah ini, saya hanya seorang figuran.

Sungguh, dari awal, saya tidak pernah berharap menjadi tokoh utama---ralat, saya memang kadang, ah, tidak, sering berharap bahwa kisah ini merupakan sebuah pelencengan dari kenyataan yang kerap terjadi, dan saya merupakan tokoh utama wanita paling bahagia yang pernah ada; namun setelah saya tengok ulang, saya merasa begitu tak tahu diri.  Maksudnya, lihat saja, dia begitu.... bagaimana saya harus mengatakannya, semacam, menarik? Ya, kurang lebih. Sedangkan saya hanya berlindung pada rambut sebahu yang kering dan bercabang, kemeja kusut, wajah yang cukup ditaburi bedak bayi (dan tak rata pula), serta bentuk tubuh yang jauh dari kata proporsional. Kami ibaratnya dua polar yang berbeda dan tak saling tarik menarik. Ia hidup di dunia glamour, saya hidup pada kesederhanaan yang terbatas. Ia barangkali kerap menghabiskan waktunya di tempat-tempat yang acapkali digandrungi oleh kaum muda, sementara saya lebih banyak mendekam diri di kamar, atau meniti jalan tepi sawah seorang diri sembari memikirkan seperti apa kiranya senja yang akan ditampakkan oleh langit kali ini---apakah oranye murni, ataukah jingga pekat ke-merah-mudaan.

Semestinya saya sudah menyadari ini semua sejak lama.

Tapi ia pun seharusnya tahu diri, bukan hanya saya---ia tak seharusnya datang ke kehidupan saya, memporakporandakan semesta yang telah saya tata baik-baik. Atau, setidaknya, ia tak seharusnya tak usah menyempatkan diri melangkahkan kakinya lebih jauh ke dalam sangkar saya, ke dalam rumah saya, dunia saya, begitu teratur hingga saya tak tahu lagi bagaimana saya harus mengusirnya, dan jika saya tahu caranya pun, saya toh tetap saja akan memilih diam dan membiarkan ia membajak sudut gerak saya, sedikit demi sedikit, sekecap demi sekecap----sebagaimana yang telah ia lakukan kepada saya, tanpa ada sedikit cela.

Tanpa ada secuil alasan yang mampu menyemangati saya untuk menolaknya.


****
Sore ini mestinya mata kami beradu, bibir kami bertemu.

Sayangnya tidak, tidak ada cerita demikian, tidak di sore ini atau pun sore-sore yang lampau dan yang akan datang.

"Mau tambah kopinya lagi?"

Menyedihkan, saya bahkan tak sadar bahwa saya, rupanya, telah menelan habis secangkir kopi yang lama saya diamkan membisu itu dalam sekali tenggak, mengejutkan lambung saya dengan sapaan tak bersahabat.

Sembari menyerahkan cangkir kosong berampas hitam pekat melekat di bibirnya, saya mengangkat kepala, mendapati pelayan muda yang sedari tadi menatap saya dengan pandangan iba dari kisi-kisi jendela tengah berdiri di hadapan saya, sedikit membungkuk, ruas kanan rambutnya tertempa bias oranye senja, nyaris menyilaukan mata. Ia sempat tak bergeming, lalu mengulang kembali pertanyaannya---mau tambah kopinya lagi?---yang tak sampai selesai sebab saya buru-buru menganggguk, tak bicara, sekedar menaik-turunkan kepala barang empat detik, lantas kembali menolehkan pandangan pada bentang langit, berharap ia segera minggat. Dan benar saja, dalam sekejap mata, ia sudah tidak ada, meninggalkan wangi parfum murahannya bertengger di rongga pernapasan saya, enggan memuai.

Barangkali, saya tak seharusnya membiarkan ia minggat cepat-cepat.

Barangkali, begitu ia mengantarkan kopi saya nanti, saya lebih baik mengajaknya bicara.

Tentang prakiraan cuaca, tentang jalur bis kota, tentang resep pasta, tentang tayangan sinetron yang akan diputar seusai shift kerjanya, tentang alamat palsu yang tak kunjung ketemu, tentang kubangan air, tentang obat penghilang diare, tentang pemilihan calon presiden beberapa dekade mendatang, tentang gerimis di pucuk pagar, tentang asap kemenyan, tentang... tentang apa saja. Kemudian, begitu sore terbenam dan kopi saya sudah habis, ia tak perlu repot-repot menawarkan diri untuk mengisinya lagi, sebab di saat itu, barangkali, kami akan berbicara tentang perpisahan.

Tidak, di saat itu, kami tentu berbicara tentang perpisahan.


****
Tapi skenario itu tidak pernah ada, sebagaimana pertemuan yang tak kunjung terlaksana pada sore yang tak kekal ini.

"Kamu lupa."

"Aku tidak, aku hanya tidak sempat---tidak bisa."

"Tapi kamu tetap saja lupa, kamu lupa menghubungi saya, kamu tidak memberitahu."

"Jangan sebut dirimu 'saya'," suara di seberang sana setengah meminta, "aku tidak suka."

"Kamu pintar mengalihkan topik," jawab saya, apa adanya.

"Aku tidak, aku hanya mengingatkan---menyarankan."

"Tapi kamu tetap saja mengalihkan topik," saya menekan, "dan lagi, bukan urusan kamu soal bagaimana saya memanggil diri saya sendiri."

Saya bahkan boleh menyebut diri saya Madonna, atau Keroro, atau Painem, dan tak ada, dengarkan saya, tak ada satu pun yang dapat melarang.

"Kamu marah," ia kembali berujar setelah saya matikan panggilan sebelumnya selama lima menit.

"Saya memang iya."

Ia tertawa.

****

Senja sudah benar-benar hilang semenjak beberapa menit silam, tergantikan sepenuhnya oleh gelap malam---saya masih belum beranjak, merekat pada permukaan kursi tanpa ada tanda-tanda lepas cepat atau lambat. Seperduabelas jam kemudian, pelayan muda itu muncul kembali, tak lagi membungkukkan punggungnya.

"Kopi?" tanyanya pendek.

Saya menggeleng, tak bicara, namun senyum saya mengembang sempurna.

"Mau pesan makanan?"

Ia rupanya tak menyerah begitu saja.

"Mungkin nanti, saya menunggu seseorang."

"Yang tadi menelepon?"

Senyum saya menipis.

"Laki-laki?"

Senyum saya menipis lagi.

"Pacar?"

"Bisa jadi."

Pelayan muda itu terdiam.

"Kalian sedang bertengkar?"

Kali ini, saya tak memberi reaksi apa-apa, membiarkan ia menerka.


****

"Bagaimana kalau saya ternyata hanya seorang figuran?"

Ia berhenti, memutar langkah, menatap mata saya.

"Dan karena itu kamu berbincang mesra dengan pelayan muda di sebuah cafe kelas menengah?"

"Ah, ia hanya bertanya mengapa saya berada di sana seorang diri."

"Tapi ia menatap mata kamu, aku tidak suka."

"Saya pun menatap matanya," saya membangkang, menaikkan suara hingga dua oktaf, "dan kamu pun biasa melakukan hal itu dengan orang lain, dengan wanita lain."

Ia tidak membalas---tidak hingga kami mencapai mobilnya.

"Tapi mereka sekedar figuran yang kebetulan kutatap, bagaimana kamu tak dapat paham?'

"Tapi bagaimana jika ternyata, dalam cerita ini, sebenarnya, justru peran sayalah yang merupakan peran figuran?"

"Tapi, toh, itu hanya anggapanmu, sebab sesungguhnya tidak seperti itu."

"Tapi bagaimana saya bisa tahu itu tidak benar---bagaimana kamu dapat membuktikan?"

Tapi perseteruan berawalan 'tapi' ini berhenti sampai di sini saja, sebab sejurus kemudian, yang saya tahu, mata kami telah beradu.

Dan bibir kami bertemu.



Yogyakarta, 2012


Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers