Garis Tipis Antara Ada dan Ketiadaan

“I think there should be a rule that everyone in the world should get a standing ovation at least once in their lives.” ― R.J. Palacio, dalam bukunya, Wonder

Tadi malam, tepatnya pukul 23.53 WIB (atau sekitar itu) saya mendengar kokok ayam jantan, sayup-sayup, bersahut-sahutan. Saya, seperti biasa, terjaga seorang diri, tangan kanan sibuk menulis huruf-huruf acakadut atas soal essay responsi tahun lalu, tangan kiri sibuk menjamah ke mana-mana, bergerak lasak. Kokok ayam jantan di tengah malam memang bukanlah hal yang terlalu aneh, seandainya saja saya tidak sepenuhnya sadar bahwa di perumahan tempat saya tinggal, keberadaan hewan bertaji itu nihil. Saya pikir, mungkin suara itu berasal dari desa di seberang sawah belakang---mungkin saja makhluk yang enak jika digoreng tepung lantas disajikan panas-panas itu tengah melakukan rapat rahasia di malam hari dalam bahasa mereka sendiri, semacam gerilya yang tak lagi diam-diam, membahas rencana rahasia soal pembalasan dendam terhadap manusia dan antek-anteknya.

Oke, sampai di sini, kalian boleh berkata, "Jangan bercanda, mana ada hal yang seperti itu!"

Tapi siapa yang tahu, siapa yang mengira.
****

Semua orang barangkali sudah tahu bahwa saya tergila-gila dengan salah satu karya Vladimir Nabokov berjudul Lolita.
“Lolita, light of my life, fire of my loins. My sin, my soul. Lo-lee-ta: the tip of the tongue taking a trip of three steps down the palate to tap, at three, on the teeth. Lo. Lee. Ta." - Vladimir Nabokov, dalam bukunya, Lolita. 
Dari ketiadaan yang berakhir pada suatu keberadaan, seperti itu lah kira-kira perjalanan (?) cinta Humbert terhadap gadis 12 tahun bernama Dolores Haze yang ia sebut Lolita.

"She was Lo, plain Lo, in the morning, standing four feet ten in one sock. She was Lola in slacks. She was Dolly at school. She was Dolores on the dotted line. But in my arms she was always Lolita."

Dalam hati terkecilnya, Humbert tahu bahwa ia tak pernah mencintai Lolita karena ia (memang) adalah seorang Lolita. Hell, ia bahkan (sepatutnya) tahu bahwa segala ketertarikannya terhadap gadis remaja berusia puluhan tahun di bawahnya itu berawal dari perasaannya terhadap Annabel, cinta masa kecilnya, yang tak kunjung lekang dan kian menjadi. Sketsa Annabel masih melekat dalam benaknya---Annabel yang menggemaskan dengan sikut keemasan---dan kenyataan bahwa Annabel telah berpulang (mati, ya, meninggal, wafat, tidur tanpa akhir) bahkan sebelum cinta itu benar-benar mekar setengah membuat Humbert tak dapat berpikir baik. Ia mulai mencari-cari wanita lain, nama-nama lain, namun pada akhirnya ia tak mampu lepas dari kutukan cintanya terhadap Annabel yang menggemaskan dengan sikut keemasan, Annabel yang selalu belia dan selalu remaja di ingatannya, sehingga tanpa mampu Humbert hindari, ia telah menjelma sebagai sesosok pedophile.

“We loved each other with a premature love, marked by a fierceness that so often destroys adult lives.” 

Tapi ada bagian menjelang akhir (bagian yang membuat saya meneteskan air mata deras) di mana ia sadar bahwa ia memang telah jatuh cinta kepada Lolita, setelah kisah panjang yang melibatkan begitu banyak kebohongan di antara mereka usai dan Lolita sudah menikah dengan laki-laki lain yang bukan dirinya---betapa ia telah benar-benar jatuh cinta kepada Lolita bukan lagi karena ia telah mengingatkan dirinya akan Annabel, atau karena ia begitu menggemaskan dengan sikut keemasan dan rambut yang lembut berkibar, namun karena ia, yah, ia adalah Lolita, begitu Lolita dan sepenuhnya Lolita, bahkan ketika ia sudah bukan Lolita berusia 12 tahun yang ia usahakan lekat dan masih ada di pandangannya, melainkan Lolita yang sudah tumbuh mekar dan kehilangan esensi kanak-kanaknya.

“I knew I had fallen in love with Lolita forever; but I also knew she would not be forever Lolita.”

Ada garis tipis di antara ada dan ketiadaan---lihat, saya menuliskan 'ada' sebanyak dua kali dalam satu baris---saya percaya akan hal ini. Mirip-mirip, uhm, garis tipis yang menorehkan eksistensinya di sela cinta dan benci. Detik ini, barangkali, kamu mencintai seseorang (atau dua orang, atau tiga orang, terserah saja) dan tanpa sadar otakmu telah memainkan film hitam-putih yang cenderung klise dengan sendirinya, adegan-adegan di mana kalian sudah menjadi sepasang kekasih, atau malah, ekstreme-nya, suami istri. Tak cukup segitu, otak sialan itu bahkan mengulang adegan romantis di antara kalian secara kontinyu, terus tanpa henti, membuatmu mau tak mau membayangkan bagaimana, seandainya, bila, jika, kalian telah utuh sebagai keluarga, lengkap dengan beberapa anak menggemaskan yang tengah berlarian ke sana ke mari dan kalian berdiri di pinggir taman berbunga, berpelukan sambil tersenyum ceria layaknya kisah dongeng yang selalu berakhir bahagia selama-lamanya.

Tapi di suatu saat, kamu malah berbalik membenci orang itu, tak kalah seriusnya. Begitu benci sampai-sampai kau ingin sekali memutar waktu demi mengembalikan sekian jam hidupmu yang telah habis hanya untuk mencintai manusia semacam dia, iya, kan? Ya, ya, saya tahu, saya paham.

Karena itu, saya katakan, garis tipis itu memang nyata. Ia memang hidup, saya rasa, di antara cinta dan benci, terang dan gelap, pagi dan malam, baik dan buruk, sehat dan sakit, dan semacamnya, tak terkecuali di antara ada dan ketiadaan.

Ia bernyawa.

“It was love at first sight, at last sight, at ever and ever sight.” 

****

Denting pantat pena dan permukaan meja yang bersentuhan, kalkulator yang tak sengaja jatuh ke lantai, gesekan kapur dan papan tulis, tawa tertahan, kuapan lebar, gemerisik kertas, gumaman di tiga baris belakang, tangan yang ditunjuk-tunjuk ke depan, dengkuran halus, lantunan lirih, musik bervolume ekstra kecil, keluhan tentang ibu kos, ring BBM yang lupa di-silent, getar sms masuk, helaan napas---segala aktivitas kecil di kelas ber-AC yang kadang tak begitu dingin ini---sepasang mata beradu sekilas, pipi memerah, kikuk, melengos, senyum malu-malu, bisik-bisik berisik.

Seandainya apa yang ada akan terus hidup sebagai ada.

Seandainya semua ketiadaan akan terus bertahan sebagai ketiadaan.

****

Yogyakarta, 2013.
Selamat tahun baru.


Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers