Percakapan dari Antah Berantah





(Cette jolie doodle of mine.)

Jika boleh berbicara blak-blakan, jujur saja, saya ini orangnya terbilang lambat, baik itu soal berpikir, menangkap informasi, mengambil keputusan, dan melakukan tindakan. Saya bukan seorang genius, maaf saja. Bahkan jika semesta ini tiba-tiba berubah menjadi segepok buku atau film dokumenter, saya mungkin hanya salah satu dari beberapa milyar kepala yang tak pernah disebutkan namanya dan tak pula disorot wajahnya. Tidak, tidak, saya tidak sedang berusaha menjadi sesosok emo di sini, sebab saya mengatakan hal yang sebenarnya. Saya adalah gadis biasa dengan pola pikir biasa dan kehidupan biasa, sesederhana itu saja sebenarnya. Satu-satunya hal yang tak menjadikan saya biasa barangkali adalah ketidakmengertian saya yang, lucunya, kian hari kian menjadi.

Well, kehidupan ini saja sebenarnya masih merupakan misteri---siapa yang dapat menyangkal, coba angkat tangan.

.

.

.

Oh, tangan saya terangkat sendiri, maafkan saya lagi.

****


(Gambar yang saya coret di sela UTS Pengolahan Industri Kimia, Selasa silam.
Entah saya terlalu pintar sampai-sampai selesai dua puluh menit sebelum batas pengumpulan, atau memang sudah terlampau pasrah saat itu---lagi-lagi saya harus dihadapkan dengan ketidakmengertian.)

Beberapa minggu sebelum ini, ada teman lama saya yang bertanya, "Ay, kamu sudah nggak nulis lagi?"

Saya hanya sanggup mengernyitkan dahi sewaktu membaca pesan singkatnya. Saya jawab, "Menulis dalam hal apa? Saya kadang-kadang masih menulis catatan, kok, di kelas kuliah."

"Ya kamu tahu maksud aku---menulis prosa, aku kangen lho tulisan kamu. Terutama itu, itu, romantisme-melankolia andalan kamu."

"Oh, prosa?" saya, tanpa sadar, kembali membalikkan pertanyaannya. "Kadang sih, kalau sedang bosan. Dan ngomong-ngomong, sejak kapan saya ahli di bidang pembuatan prosa romantisme-melankolia?"

"Kamu lupa, dulu banyak yang membandingkan kamu dengan Garcia Marquez, kamu dibilang nyaris-Marquez-kecil oleh juri---"

"Iya, iya, tapi itu tidak menjadikan saya handal dalam romantisme-melankolia yang kalian sebut-sebut. Jika apapun, saya lebih ingin ahli dalam menuliskan prosa kanak-kanak."

"Mengapa harus prosa kanak-kanak? Kamu bukannya naksir berat dengan karya-karya Kafka, Nabokov, Joyce, Virginia Woolf---juga, tentu saja, kamu tergila-gila oleh Joko Pinurbo dan Seno Gumira--lalu mengapa prosa kanak-kanak? Kamu tidak berniat mengenalkan romantisme-melankolia kepada mereka, kan?"

"Tidak! Gila saja---astaga, gila saja---saya tidak sejahat itu!"

"Lalu, kamu mestinya memiliki alasan yang masuk akal---yang mana, tak sedikit saja mampu saya bayangkan."

Sepertinya saya sedikit mendesah sebelum kembali membalas ucapannya, entahlah, saya lupa-lupa ingat, tapi kita bayangkan saja saya mendesah kecil sembari melanjutkan ketikan tangan saya pada tuts laptop dan berkata secara maya, "Anak-anak tak banyak mempertanyakan hal yang muluk-muluk, mereka hanya mempertanyakan ketidakmengertian yang tak mereka ketahui alasannya."

"Oh, ya, apa manusia dewasa tidak seperti itu---menurut kamu tidak seperti itu?"

Saya mendesah kembali.

"Semasa saya menulis prosa untuk orang dewasa, selalu saja ada ulasan dan kritik dan saran dan cemoohan dan---"

"Kamu takut? Jadi hanya karena kamu takut?" ia buru-buru memotong.

"Eh, saya tidak bisa menyangkal," jawab saya sekenanya. "Tapi yang jelas, dalam menulis prosa kanak-kanak, saya selalu mampu memainkan imajinasi saya dengan bebas."

"Sebab mereka tak banyak membandingkan itu dengan kenyataan, alih-alih justru ikut membayangkannya, bukan?"

"Lah, itu kamu paham," saya menyeletuk kalem. "Ibaratnya, saya tak hanya bercerita, tidak hanya menceritakan, namun berpetualang bersama. Anak-anak pun butuh prosa yang dapat mereka baca sebelum tidur, maksud saya, di luar buku bergambar dan kumpulan dongeng negeri impian."

"Tapi sebebas apapun kamu memainkan imajinasimu bersama mereka, kamu tetap tak bisa liar, kan. Kamu ndak bisa---kamu ndak mungkin mengenalkan kisah cinta antara Tudung Merah dan Serigala, gadis desa dan Nosferatu, Hansel yang bertemu dengan Alice di pasar malam tengah hutan dan meninggalkan Gretel di antara remah-remah roti----"

Ia terus mengoceh, meletakkan konsonan di antara vokal, vokal di antara konsonan---kata-kata yang disejejerkan merupa kalimat panjang berderet-deret, gerbong berasap, omong kosong, dan seterusnya. Saya agak bingung harus mengatakan apa setelah itu, tapi rupanya Tuhan menyayangi saya sebab (rupanya) saya (masih) merupakan gadis yang manis dan baik hati, maka saya terjaga. Alkisah, saya terjaga.

Saya terjaga di sebuah pagi yang manja dan enggan menembus ventilasi udara kamar, tidur bersebelahan dengan handuk kecil yang telah saya tempeli ingus di sekujur jahitannya. Hidung saya mampet, sebagaimana otak saya yang belum tertancap ke colokan, setengah terkejut karena jam dinding sudah menunjukkan pukul lima padahal saya belum menyelesaikan materi PIK, sarapan, minum obat, mandi, dan sebagainya. Suara ibu saya lamat-lamat terdengar, mempersoalkan demam saya yang tak kunjung sembuh dan potongan-potongan instruksi yang jika tak salah saya terjemahkan berbunyi begini, "Pokoknya, habis ujian, ibu bawa kamu ke Bethesda." namun saya tak terlalu mengindahkannya, sebab begitu otak saya mulai mampu bekerja, yang mampu saya batinkan berulang-ulang hanyalah, "Oh, yang barusan itu hanya mimpi---oh, terimakasih, yang barusan itu hanya mimpi."

Dan dalam kemerdekaan yang begitu labil pada dini hari berkabut tebal itu, saya tertawa.

Lepas sekali.

****

Dulu saya pernah tergila-gila dengan pasar malam, permen kapas, Hansel & Gretel, serta Alice in Wonderland, maka saya menghasilkan karya ini di tahun 2010.


Biang-Lala 


Kalau kau masih sedikit lupa tentang negeri impian yang pernah kita masuki beberapa dekade lalu --- aku yang mengejar anak lelaki berkuping kelinci dengan mata saphire, dan kau yang memunguti kalung jam emas yang berjatuhan dari karung-karung yang tumpah seperti percikan kuah --- barangkali kau pun segera akan mendapati gigimu mendadak tanggal, menyisakan dua tank di depan mirip lelaki kelinci yang kau kejar, dan kelak tetangga kita akan menyanyikan burung kakatua dan orangtuamu menyiapkan nisan dengan namamu tertera. Tetapi tidak.

Sebab aku tahu, kau mestinya masih ingat bagaimana hari ketika aku seolah-olah adalah Alice dan kau--- ugh, yah, kau--- kau, kau, mungkin, kau, seperti Hänsel yang tak ditemani Gretel; atau lebih tepatnya Hänsel yang mendadak genit dan membuntuti Alice yang membuntuti anak berkuping kelinci dan bermata biru kristal ke negeri impian. Ah, negeri impian! Bagaimana kita bisa lupa? Langit yang bertempelan stiker bunga (lucunya, kau kira saat itu kita tengah nyasar ke bawah laut tempat teman spons dan bintang laut merah muda kita sedang asyik menangkap ubur-ubur), pohon kartu yang mekar, si Tanpa Wajah yang menatap dengan liur, peri bersayap dan drakula bermain petak umpet, putri duyung berenang tanpa atasan ---kusuruh kau tutup mata: dasar pemuda!--- dan Biang-Lala warna-warni yang kursinya terbuat dari gulali.

"Aku ingin tahu bagaimana rasanya naik Biang-Lala yang kursinya terbuat dari gulali."

"Tidak mungkin bisa; Biang-Lala itu akan habis kau telan. Dasar wanita."

"Kalau begitu aku akan tetap naik dan ketika sampai di puncak, mungkin aku akan menelannya dalam satu teguk---"

"Seperti air?"

"--- seperti air. Aku kira pinggiran itu adalah permen mint dan roda itu terbuat dari macaron."

"Ah, dan tiang itu ukiran cokelat Belgia."

"Cokelat Belgia. Hm, boleh aku naik ke sana sekarang?"

"Boleh saja. Dan setelah itu aku akan menelan apa yang tersisa di bibirmu dengan empat kali lumatan."

"Seperti nektar bunga?"

"Tidak. Seperti marijuana."

****

Mungkin benar, saya tidak terlalu berbakat menuliskan prosa kanak-kanak.

Mungkin sebaiknya saya stuck dengan tema romantisme-melankolia seperti ini, lantas membahagiakan manusia dewasa yang kebetulan menyukai gaya prosa saya...

Atau mungkin, saya sebaiknya tidak usah berpikir terlalu berat akan hal ini.

.
.
.

Eh, sepertinya memang lebih baik begitu.

Yogyakarta, 2013

Oh iya, UTS kali ini pun sama saja nonsense-nya.

Oh iya, saya sekarang jomblo.
.
.
.
Penting banget, yak.

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers