Tik Tok, Tik Tok


(salah satu sudut Yogyakarta yang saya sukai.)

Kemarin malam, saya menginap di kontrakan salah satu teman kuliah berinisial A---barengan dengan teman kuliah lain yang berinisial T. Ya, pendeknya, semacam sleepover versi pas-pasan, gitchu. Layaknya mahasiswi tingkat empat (atau sebenarnya, wanita) pada umumnya, malam itu kami membicarakan banyak hal, mulai dari pelajaran, dosen, perkembangan gosip di hiburan tanah air, cinta, hingga pernikahan.

Deg.

Pernikahan, sewaktu mendengar kata ini, pikiran saya sesaat melompat ke beberapa tahapan ke depan. Jujur, dulu saya paling semangat jika diajak bicara soal pernikahan. Saya bayangkan, sungguh bahagianya, membangun keluarga cepat-cepat dan menjadi seorang Ibu dalam hubungan yang sah. Sayangnya, semakin ke sini, persepsi idaman saya itu semakin terasa hambar---luntur---lalu titik terang itu seolah memukul saya pelan-pelan---cukup pelan untuk tidak menimbulkan pikiran larut yang membuat malam sleepover saya mendadak kusut---tapi tetap saja, di pagi harinya, saya kembali tersadar: tahun ini saya akan memasuki pengulangan dasawarsa yang kedua.

Saya rupanya sudah mulai tua.

****

Sehari sebelum pertengahan Oktober tahun ini, saya genap berusia 20 tahun. Tandanya, empat atau lima tahun lagi, saya barangkali telah berkeluarga.

Tandanya, saya memang tidak bisa menjadi anak-anak selamanya.

Tetapi, tetapi, saya paham, kok, waktu berjalan. Sejak kecil saya juga sudah menyaksikan sendiri bagaimana subuh tumbuh menjadi pagi, menjadi siang, menjadi senja, menjadi malam, dan kembali lahir sebagai subuh yang gelap dan berembun pekat, sebagai janin yang bahkan belum membuka matanya. Saya mengerti, kok, saya paham. Hanya, saya sedih, itu saja.

Sedih, pasalnya setiap saya bercermin, rasanya baru kemarin Bapak dan Ibu mengantarkan saya ke Taman Kanak-kanak---tangan kanan dan kiri saya masing-masing dituntun, kemudian saya digiring masuk ke sebuah ruangan luas berisi papan tulis, gantungan bunga matahari, karpet hijau, foto presiden  dan wakil presiden yang diapit garuda, serta kursi plastik warna-warni. Pelajaran sendiri tidak berlangsung terlalu lama, sekedar nyanyian random yang diselingi dongeng, mewarnai gambar, menyanyi, dan bermain bersama teman. Kepala-kepala orangtua murid juga bisa dilihat jelas dari jendela lebar yang terpasang di sana-sini. Rasanya masa-masa itu baru saja berlalu, dan saya yang sekarang ini semestinya tidak hadir terlalu cepat.

Ah.

Bohong, kalau saya bilang, saya tidak kangen masa-masa ini, di mana hal sekecil apa yang saya lakukan boleh diberi tepuk tangan dan seruan riuh rendah; di mana langkah pendek-pendek yang saya buat mampu menghadirkan senyum di wajah banyak orang. Disayang, dimanja, dielukan, tidak usah bangun dini hari demi mengurusi segala hal, segala ikatan benang yang tersumbat dan mesti diluruskan---semesta yang padat dan sibuk, lalu apa-apa berdatangan, silih-ganti, keluar-masuk, dengan atau tanpa salam, dengan atau tanpa ucapan selamat tinggal.

Selamat datang, hati-hati di jalan.

****

Kurang dari lima bulan, saya berusia 20 tahun.

Kurang dari 6 tahun ke depan, saya mungkin sudah menikah.

Kurang dari 2 tahun selanjutnya, saya harap, saya sudah memiliki keturunan.

Kurang dari 2 tahun setelah kurang dari 2 tahun selanjutnya, saya kepingin memiliki keturunan kedua.

Kurang dari entah kapan lagi, saya barangkali sudah keriput dan ompong---karena waktu berjalan, saya tahu ia tidak pernah duduk diam----dan otak saya sudah pikun dan suami saya juga sama saja.

Tapi saya berharap---siapa pun dia kelak---saat detik ini tiba, saya masih bisa mencintainya.

****

Saya akan memberikan tepuk tangan atas segala langkah pendek yang ia tepakkan.

Yogyakarta, 2013

Dah.

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers