Peter Pan di Wonderland


Karena menjadi kanak-kanak abadi tidak selalu menyenangkan, Sersan.

***


Sersan, selamat malam.

Tidak, hari ini bukan hari yang istimewa. Langit Jogja mendung, dan saya masih duduk di sudut yang tak jauh beda sejak kemarin lusa, memegang tablet dan melempar pandangan ke luar jendela. Akan lebih bagus sebenarnya jika hujan turun tiba-tiba, lantas semesta yang ada di hadapan saya bukan lagi lalu lalang motor serta guguran daun kering, melainkan tetes-tetes air yang asalnya entah dari mana, jatuh beramai-ramai ke kulit luar bumi dan memenuhi cekungan jalan yang sudah lama tak terisi. Sayangnya, untuk menyaksikan hal itu, saya mesti menunggu---dan saya tak suka, saya tak suka menunggu lama-lama tanpa melakukan apa pun, maka saya putuskan membunuh waktu sembari menulis surat pribadi yang sebenarnya tak akan dikirimkan ke siapa-siapa; jika boleh saya menganggap anda tak ada.

Sersan, Sersan, mungkin ada benarnya dulu saya tidak jadi mengambil kuliah di fakultas kedokteran, sebab makin ke sini, saya tidak betah berada lama-lama di rumah sakit.

Maksudnya, bagaimana tidak, koridor yang memanjang di setiap belokan dan membentuk gang lurus dengan ujung gelap---seolah-olah di ujung sana ada monster yang sewaktu-waktu bisa menerkam saya, membawa tubuh saya yang tak sampai seratus enam puluh centimeter ini ke jurang tak bernama. Mungkin monster itu sendiri ingin memakan saya, atau sekedar kepingin mengajak berkenalan, menanyakan di mana anda berada, lalu menyatakan cinta. Namun cinta, bagi saya, hanyalah lima huruf yang dirangkai apik dan disematkan di mulut---saya telah berkali-kali mendengarnya, dalam suara yang berbeda-beda---lantas berakhir secara menyedihkan di suatu hari yang anda harap tak pernah ada. Sejujurnya, saya agak kesal pada kenyataan bahwa empat, eh, lima huruf manis di mulut itu sering disudahi oleh umpatan dan air mata. Dari pengamatan saya selama ini, segalanya berjalan membentuk siklus. Ah, tidak, bukan siklus, melainkan garis lurus yang berujung pada titik gelap (mungkin infinitive, bahkan) sebagaimana koridor rumah sakit yang memanjang dan hanya terang di awal pangkal.

Belum pula bau bahan kimia yang merebak di sana-sini dan dinding muram yang berusaha disamarkan lewat warna terang polos. Baru-baru ini saya agak bertanya, mengapa mereka tak memasang wallpaper dinding bermacam desain saja, alih-alih warna terang polos yang umumnya cukup berupa gradasi putih dan kuning muda. Siapa tahu dengan begitu, pasien-pasien yang ada akan bahagia dan lekas sembuh---yah, tidak ada salahnya kan, menutupi pertarungan antara sistem imun tubuh versus penyakit dengan cara yang menggemaskan. Tapi semua hal terjadi karena suatu alasan, Sersan, apa pun itu---bak api dan asap, semut dan gula, saya dan anda.

Humbert dan Lolita.

***

Konon, suatu hari yang tak pasti, kelinci Wonderland milik Alice tersesat di Neverland.

Teori saya, kelinci itu sebenarnya tak bisa membaca dengan terlalu baik---atau buta arah, semacam itu---maka ia mengambil arah belokan yang salah dan sampai di negara tetangga, bertempur dengan Captain Hook dan nyaris jatuh cinta kepada Tinkerbell. Singkat cerita, kelinci itu menangis tersedu-sedu dalam perjalanan pulang ke Wonderland sambil diantarkan Peter Pan---kau tak boleh bertanya mengapa, karena dongeng sesungguhnya tak boleh dipertanyakan cikal bakalnya, paham? Nah, singkat cerita lagi, sesampainya di Wonderland, si kelinci mengenalkan Peter Pan dengan seorang perempuan yang boleh kaubayangkan sebagai siapa saja---akan tetapi, khusus di suatu hari yang tak pasti ini, ia adalah saya.

Alkisah, saya mendapat peran selaku lakon utama.

Alkisah, saya berkenalan dengan Peter Pan, lantas kami---tidak, kami tidak jatuh cinta.

Kami hanya seharian bertukar usia.

***

"Peter Pan, bagaimana rasanya menjadi kanak-kanak abadi?"

Saya tak kaget sewaktu jawabannya dapat saya susun sepanjang gerbong kereta.

Lantas, ia bertanya, "Bagaimana rasanya dapat tumbuh dan menjadi dewasa?"

Kemudian kami bertukar usia.

"Tapi hanya sehari," ia mengingatkan, "setelah bertemu Wendy, aku akan langsung pulang."

Bertemu Wendy, menyatakan cinta, ditolak, dan kembali ke Neverland sebagai laki-laki yang tak pernah bisa tumbuh---betapa menyedihkannya.

***

Sungguh, betapa menyedihkannya.

***

Tapi saya tetap menganggukkan kepala---dan ia memang menepati janjinya. Ia melambaikan tangan kepada saya sebagai pemuda berusia sembilan belas tahun, sementara saya melambaikan tangan padanya sebagai gadis gembul berusia dua belas tahun. Kami berpisah di gerbang penghubung Wonderland, Neverland, dunia nyata, dan dunia-dunia lain yang rahasia. Ia, tentu saja, pergi ke mana pun Wendy tengah berada bersama radarnya, sementara saya lekas mengganti baju dengan gaun biru-putih-abu-abu yang jatuh tanggung di atas mata kaki, membaca mantra (anggap saja saya bisa) agar rambut saya berubah warna, lalu memanggil si kelinci yang masih meneteskan air mata.

"Berhenti menangis, nanti kamu saya hadiahi kue mochi," saya memberinya iming-iming kecil.

"Bisakah saya menumbuknya di bulan?"

"Ya, ya, terserah saja."

"Dan Tinkerbell dapat melihat saya dari Neverland?"

Saya menyogohkan tanggapan yang sama.

***

Saya pernah bermimpi menjadi Alice, bertemu dengan kelinci yang menggenggam kalung arloji pada siang hari yang membosankan dan manja, terpeleset ke bawah tanah, dan sampai di suatu aula dengan banyak pintu. Bedanya, saya tak akan memilih pintu yang berujung pada kebun tempat botol minum dan kue misterius berada. Pun, saya juga tak berhasrat untuk bertemu dengan tikus perenang seraya dengan lugunya bertanya, "Où est ma chatte?" kepada hewan pengerat tersebut. Satu-satunya hewan pengerat yang ingin saya temui barangkali hanyalah tupai---yang tidak ada dalam cerita ini, sama sekali. Kalau boleh, saya sekedar ingin bertemu dengan Mad Hatter barang sejenak sebelum melesap jauh ke dalam pintu yang saya pilih---sayangnya saya ingat bahwa Mad Hatter sebenarnya jelek sekali apabila sudah terkena sinar matahari, tak lebihnya laki-laki tua yang menggenggam cangkir teh kesana kemari. Maka, tanpa pikir panjang, saya segera meloloskan tubuh belia saya yang bulat itu ke salah satu dunia di seberang galeri pintu, dan menerka-nerka apa yang akan terjadi pada saya selanjutnya.

Setapak jalan di tengah hutan terbentang dengan lapang.

***

"Aku menjadi Gadis Bertudung Merah, menikahi serigala, menemukan fakta bahwa ia sebenarnya pangeran Negara Barat Laut yang dikutuk, lalu berlari ke pintu lain dan berubah menjadi Snow White, lalu Aurora, lalu Cendrillon, lalu Jasmine, lalu robot android di masa depan yang terlibat pertempuran galaksi, lalu zombie, lalu entah apalagi dan, dan, kembali sebagai Alice yang mengejar kelinci berkalung arloji di tepi sungai---hei, tidakkah hari ini sangat menyenangkan?"

Tapi Peter Pan justru menangis di bahu saya.

***

Sersan, setelah saya renungkan, mungkin menjadi kanak-kanak abadi tidak selamanya menyenangkan. Rasanya nyaris mengerikan, bagaimana semestamu bertambah tua sementara kau tidak, seperti waktu yang seolah terhenti di ujung lorong rumah sakit sedangkan segala macam hal di sekitarnya terus bergerak---troli makanan yang dibawa perawat, bunyi gesekan sepatu para pengunjung, kursi roda, sapu pel, televisi yang dinyalakan untuk tak ditonton atau cukup disawang sekilas, dan sebagainya.

Ada kalanya saya berharap menjadi salah satu anak yang hilang dan tinggal di Neverland bersama Peter Pan dalam keabadian belia---dengan begitu maka saya tak perlu memikirkan baju model apa yang harus dipakai esok hari, jerawat, komedo menahun, nilai hasil ujian, pekerjaan rumah, hingga lima huruf yang dirangkai manis dan disematkan di mulut, namun pada akhirnya berakhir oleh suatu hari yang anda harap tak pernah ada. Karena, karena, jujur saja, Sersan, kehidupan manusia dewasa itu kadang menakutkan, di mana saya diharuskan lebih banyak bertanya soal bagaimana, dan bukannya mengapa.

Mengapa demikian, mengapa tidak begini, mengapa tidak begitu.

Mengapa tidak sesuai mau saya saja, agar langit bisa berwarna merah muda cantik yang ditimpa warna kuning kehijauan, dan tanah adalah hamparan es krim yang tak pernah bisa meleleh.

Sebab ternyata kehidupan berjalan, Sersan.

***

Sebab waktu tak bisa tinggal diam, dan begitu banyak nama yang akan datang---keluar masuk, pulang pergi, timbul tenggelam.

Mungkin karena itu saya beranggapan, menjadi kanak-kanak abadi bisa saja tak selalu menyenangkan.

***

Mungkin karena itu saya beranggapan, Peter Pan kadang-kadang juga kesepian dan ingin bermain di Wonderland.

***

Sesekali, mencari saya---bisa saja.

Bisa saja.

Yogyakarta, 2013.

Ngomong-ngomong, Sersan, saya nggak biasanya fangirling, loh, selain dengan laki-laki dua dimensi semacam Okita Sougo, misalnya.

Tapi Do Kyungsoo itu imut sekali.

Maksudnya, sungguh imut sekali.

Nanti, nanti, saya ceritakan lain kali.


***

Comments
2 Responses to “Peter Pan di Wonderland”
  1. Anonymous says:

    hai, i'm your fan since 2017. astaga sudah hampir 3 tahun yang lalu, ya? tidak terasa waktu berjalan begitu cepat.
    saya masih ingat pertama kali menemukan blog ini. Waktu itu bulan Desember tahun 2017 dan saya mencari artikel yang membahas tentang band Indie, saya mencari.. cari.. dan terus mencari namun tidak menemukan satupun artikel yang menarik. tapi ada satu blog yang membuatku terhenti dan membawa kembali perhatian saya, saya men-kliknya and voila! i found you! blog minimalis dengan iringan pianonya yang membuat saya langsung disambut dengan nyaman, membawaku kembali ke masa-masa indah di tahun itu.
    bukan hanya itu, saya membaca blog ini dengan hati-hati. dari kata ke kata lalu dari tulisan ke tulisan. sangat indah! terima kasih!
    saya hanya ingin bertanya, it's been such a long time. how are you? mind to write something beautiful again? i'll wait.

    much love,
    IF, your reader.

Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers