Di Kaki Pantai, dan Setempurung Penyu




Di Kaki Pantai, dan Setempurung Penyu




When she was little, she kept on dreaming about her encounter with a fearless, awkward Turtle.

****





This is certainly not a beautiful story.

Dahulu kala, penyu betina berenang ke daratan untuk menitipkan telurnya pada kepiting pasir. Penyu betina berangkat di malam buta, ketika air laut mencapai suhu terhangat dan nelayan mulai menghitungi ikan-ikan yang masuk ke celah jala mereka seperti anak sekolah dasar yang tak fasih memakai sempoa. Dahulu kala, penyu betina berenang ke daratan, di suatu malam yang buta dan suam-suam kuku, kemudian penyu jantan akan menunggu di bawah lubang-lubang terumbu karang; menanti beberapa hari sampai mereka pulang. Setiap hari adalah hari yang lambat dan nyaris tak bergerak, mirip semesta di dalam lubang hitam yang tak dapat pergi ke mana-mana.

Kamu pernah menjadi bagian dari semesta itu, mungkin, dan saya barangkali sama; semesta yang cemberut dan duka, nyaris patut dikasihani, nyaris pantas ditinggal tidur pulas hingga pagi. Orang-orang laut bertolak dengan perahu mereka, melawan arus dari arah yang ditempuh penyu-penyu betina. Seperti dugaan saya, ombak tak pernah pasang. Penyu-penyu betina tersebut berenang dari tengah ke tepian. Kadang jika cuaca tak begitu baik, tempurung mereka mengapung di permukaan laut dan dibiarkan hanyut. Tempurung berbentuk bulat agak lonjong berwarna hijau tua yang tak menarik dan bertekstur kasar seakan-akan tak dapat habis dimakan rayap. Saya tidak pernah tahu di mana tempat mereka bersembunyi dalam keadaan tak bertempurung itu---dan tidak ingin pula---; yang jelas, sebelum musim panas tiba, selalu saja ada penyu-penyu betina yang mampir ke daratan, datang bersama tempurung baru mereka, menitipkan telur-telur belia pada kepiting pasir yang saya dengar usianya sudah mendekati purna.

Bila kamu datang dari temenanjung seberang dengan menumpang sampan kayu milik nelayan kedua yang pulang dari memancing ikan, kamu akan melihat bagaimana penyu-penyu betina tersebut berbaris rapi di batas muara; di mana darat dan laut bertemu, berpagut, bergelinjang dengan waktu yang tak kian menggeser jarum arloji, namun tidak pernah menjadi satu. Sesekali ada penyu betina yang pergi dari lini. Merangkak keluar, berbalik, lantas mundur ke tepi lautan. Dia lalu duduk diam, memikirkan apakah laki-lakinya yang saat itu masih menunggu di bawah lubang-lubang terumbu karang sudah makan---sementara antrian masih panjang dan gilirannya bertelur ada di penghujung malam. Pernah ada penyu betina yang tak tahan berlama-lama menunggu gilirannya tiba; saya dengar ia nekat pulang hanya untuk mati suri di antara karang-karang. Adalah pagi yang tua, dan tiga anak anjing di pinggir pantai, dan seorang wanita dengan rambut tergerai di bawah pinggang yang menemukannya terseret ombak fajar. Pada akhirnya ketika siang menyingsing, yang tampak hanyalah sisa tempurung matang kecoklatan tercecer pada kersik pasir pantai, dan lantas setelah itu saya tak mendapatkan kabar apa-apa lagi.

Barangkali ia mati. Tercabik oleh kuku-kuku tiga anak anjing yang saya bayangkan sisi luarnya banyak dipenuhi daki. Barangkali si wanita dengan rambut tergerai di bawah pinggang membawanya pulang untuk dirawat atau dijadikan hidangan dini hari. Barangkali ia menyatu bersama pagi, membayangkan masa-masa yang jauh seraya bertambah tua. Saya pikir adakalanya memang cerita dibiarkan lesap di tengah dan menjadi rahasia.


****

Saya suka berpura-pura bahwa dunia tidak pernah berputar.

Saya benci berada lama-lama pada suatu titik, tetapi sering saya bayangkan, andai saja dunia tidak pernah berputar, saya mungkin saja dapat berada dalam senja selamanya.

Dalam jam-jam yang tidak pernah melintas di benak saya sebelumnya. Dalam tempurung-tempurung yang dilepaskan penyu-penyu betina di kala silam saat mereka beranjak pulang.


Yogyakarta, 2014

Sersan, mari merakit roket ke masa depan.




Leave A Comment

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers