Posted on Thursday, February 21, 2013 · 1 Comment
(gambar diambil dari sini)
Suatu Malam, Monster di Kolong Tempat Tidur Saya Berdansa
Suatu malam, monster di kolong tempat tidur saya berdansa
Tawa alkoholiknya tercium sampai di kulit dinding, merembes
dan meninggalkan air mata.
Di malam yang lain, kuku-kuku jemarinya menyergap di mata kaki saya
Ayo singgah, ia merayu, nanti kau
kusuguhi segelas susu.
Namun saya menolak, saya enggan---saya bilang:
Jangan, apa yang mesti saya perbuat jika ayah dan ibu tahu
jika lantas,
kabar cepat menyebar ke seisi desa
seumpama kisah kembang desa yang mati tragis seminggu lalu.
"Oh, masa?" ia tertawa, mengirimkan napasnya yang bau duri salmon ke udara.
"Kalau begitu, mari, mari,
kita bawa ayah dan ibumu serta."
Sekian malam kemudian, ia kembali berdansa
bersama monster laci lemari, layar televisi, surat-surat piutang,
juga ayah dan ibu.
"Anne, ke marilah sejenak," Ibu berbisik di sela kernyitan dipan, "ayo menari,
seperti yang diajarkan guru balletmu di sekolah."
Tetapi lagi-lagi, saya menolak---nanti dulu, saya beralasan, sebab ada banyak
ada banyak betul
huruf-huruf telanjang-tak-berpakaian
yang harus saya tunjukkan jalan pulang---angka-angka
yang mesti saya ninabobokan.
"Oh, masa?" ibu tertawa, sembari mewarnai uban ayah dengan tinta pena.
"Kalau begitu, mari, mari,
kita bawa huruf, angka, dan gurumu serta."
Juga orang-orang desa, saya menyambar segera.
"Ya, juga orang-orang desa," si Monster menyahut, "orang-orang desa---
dan hantu gadis kembang yang mati tragis seminggu lalu."
Mari berpesta.
****
Sabtu malamnya, di kolong tempat tidur saya, ada pesta besar.
Si Monster menyulut kembang api, membiarkannya pecah menjadi kelopak bunga panas kemerahan
dan mati di antara jahitan seprei yang baru saya tambal tempo hari.
"Mengapa kau tak singgah?"
Kuku jemarinya kembali melingkar di mata kaki saya.
"Tidak, tidak sekarang, saya sedang menjahit nilam."
"Untuk dijadikan penghias di atas makam si gadis kembang?"
Saya bisa saja berpura-pura demikian, tapi tidak.
"Lalu, lalu, untuk kaujadikan pengganti selimutmu yang kuajak berdansa?"
"Ah, sayangnya tidak---jika ini lotere, kau sudah rugi total."
"Kalau begitu, untuk---"
Saya mendekap mulutnya, membawanya naik ke ranjang.
Ia menurut saja, tak melafalkan apa-apa.
****
"Sehelai kain nilam, agar saya tak perlu mampir---agar tak ada
yang dapat keluar,
dan agar kau
tak dapat pulang."
Si Monster tersenyum, memamerkan taringnya yang tak lagi kelihatan.
Di atas kasur saya yang tersibak sempurna, kami berpelukan.
Yogyakarta, 2013.
Random to the max.
Popular Posts
-
Belakangan, lagi kumat (ndak tahu untuk yang keberapa kalinya) dengerin lagu lama yang sempat saya sukai semasa rentang SMP dan SMA, ...
-
Saya suka musik Jepang, bermula dari kesenangan saya menyaksikan anime sedari kecil. Yah, waktu itu ayah saya jauh di Malaysia, Ibu mesti...
-
Mungkin karena pada kenyataannya, saya akui, saya ini tipikal yang tak pandai berbicara, terlebih kepada orang yang tak begitu dekat. "...
-
Mulanya, saya tergelitik untuk menulis artikel countdown ini sebab, semakin hari, saya mendengar semakin banyak anomali yang mengat...
-
Hujan identik dengan perasaan mellow dan romantis---itu yang ada dalam benak saya. Setiap hujan turun, bawaannya pasti pengen muter lagu ga...
-
Selamat datang, Desember. Belakangan, Jogja terus-terusan diguyur hujan, terkadang pagi, terkadang siang, terkadang malam. Tidak masal...
-
Saya mengenalnya sebagai Jo, begitu saja tanpa tahu nama aslinya. Pada beberapa kemungkinan, saya tebak, bisa saja dia tidak berdust...
-
Tadi siang, di kelas Matematika, saya tanpa sadar telah menggambar gadis ini di tepi lautan rumus dan simbol abstrak yang sedang terlibat p...
-
"Banyak orang yang memperlakukan kami seolah-olah kami adalah jenis manusia yang mesti dihindari. Padahal, Mbak, kami tidak jauh berb...
-
Aku heran, mengapa mereka tak pernah mengungkapkan di literatur-literatur yang beredar bahwa aku, Gadis Bertudung Merah, sebenarnya bukan ...
Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.
always love your writing ya <3