,

Saya dan Yogyakarta


Credit: foto diambil dari sini sini

Tadi malam saya bermimpi, mimpi yang pecah-pecah dan tak beraturan. Dalam mimpi itu, saya kembali berusia delapan tahun---rambut saya masih panjang tergerai, ikal mayang, jatuh di sekitar pinggang---setengah terjaga setengah tidak. Udara pagi terjerat oleh bulu hidung saya yang kala itu tak seberapa lebat, menggelitik manja. Saya berada di ruangan tiga kali tiga meter dengan posisi tergeletak, sebelah tangan dikepalkan ke atas entah untuk apa, sebelah kaki menekuk tak sengaja. Sejurus kemudian, semesta saya hening---kemudian, bak film klise hitam putih, masa kanak-kanak saya berurutan diputar. Saya tak sempat mencegahnya.

Selalu ada ruang sisa di memori dan hati saya untuk Pekanbaru dan segala sudut kecilnya: sate padang khas Pariaman yang selalu lewat setelah Magrib, sekolah dasar negeri berlabel 007 khas James Bond yang cukup ditempuh sepuluh menit berjalan kaki (dengan jangka telapak kaki anak-anak pada umumnya), komik hantu Petruk berharga Rp 500,00 yang mesti dibeli dan dibaca sembunyi-sembunyi, kerupuk kuah pedas, bakso tusuk, lapangan angker di seberang kompleks sekolah, es tebu, logat pencampuran Melayu-Minang yang sempat saya kuasai, permainan lompat tali, jembatan Leighton menuju area perumahan Caltex tempat Mas pertama kali bekerja, dan sebagainya. Well, well, saya pindah ke Yogyakarta sekitar usia 10 tahun---hidup selama 8-9 tahun sebagai anak-anak di pinggiran Pekanbaru membuat saya tak mampu lepas begitu saja dari nuansanya yang selalu menenangkan---dan tentu, layaknya manusia normal, saya juga mengalami kesusahan dalam menyesuaikan diri. Saya yang tadinya percaya diri dan selalu mengangkat wajah tinggi-tinggi, mendadak berubah menjadi anak pemalu yang selalu menunduk setiap kali berpapasan (atau bertatapan) dengan orang lain. Lama-kelamaan, hal ini semacam menjelma kebiasaan---menundukkan muka atau melongo ke mana saja saat mesti berhadapan dengan lawan bicara, terutama laki-laki---dan saya akhirnya tumbuh menjadi 'saya' yang kini kalian kenal. Yep, not bad, not bad at all.

Tapi, pada akhirnya, saya dapat pula menyesuaikan diri dengan Jogja dan segala keistimewaannya. Sebelum saya sempat memutar mata kembali untuk mengecek hal apa saja yang telah saya alami di sini, saya baru sadar bahwa, di luar kuasa saya, rupanya saya telah jatuh cinta.

Mungkin cinta buta, mungkin juga cinta yang tak mengisyaratkan apa-apa.

Read more »

,

Garis Tipis Antara Ada dan Ketiadaan

“I think there should be a rule that everyone in the world should get a standing ovation at least once in their lives.” ― R.J. Palacio, dalam bukunya, Wonder

Tadi malam, tepatnya pukul 23.53 WIB (atau sekitar itu) saya mendengar kokok ayam jantan, sayup-sayup, bersahut-sahutan. Saya, seperti biasa, terjaga seorang diri, tangan kanan sibuk menulis huruf-huruf acakadut atas soal essay responsi tahun lalu, tangan kiri sibuk menjamah ke mana-mana, bergerak lasak. Kokok ayam jantan di tengah malam memang bukanlah hal yang terlalu aneh, seandainya saja saya tidak sepenuhnya sadar bahwa di perumahan tempat saya tinggal, keberadaan hewan bertaji itu nihil. Saya pikir, mungkin suara itu berasal dari desa di seberang sawah belakang---mungkin saja makhluk yang enak jika digoreng tepung lantas disajikan panas-panas itu tengah melakukan rapat rahasia di malam hari dalam bahasa mereka sendiri, semacam gerilya yang tak lagi diam-diam, membahas rencana rahasia soal pembalasan dendam terhadap manusia dan antek-anteknya.

Oke, sampai di sini, kalian boleh berkata, "Jangan bercanda, mana ada hal yang seperti itu!"

Tapi siapa yang tahu, siapa yang mengira.
****

Read more »

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers