,

'M', untuk Maag dan Metafora


"Mengapa tepian matamu berair?"

"Ah, tidak, hanya merindu."

"Semacam rindu yang membuat begitu ingin bertemu?"

"Tak jauh beda."

"Oh, siapa?"

"Rahasia."

"Oh---lagi-lagi---seorang pria?"

"Aku tak ingin menyebut nama."

Lalu suara di hadapannya padam, dan jemari mereka bercengkrama.

****

Read more »

, ,

Peter Pan di Wonderland


Karena menjadi kanak-kanak abadi tidak selalu menyenangkan, Sersan.

***

Read more »

,

Tik Tok, Tik Tok


(salah satu sudut Yogyakarta yang saya sukai.)

Kemarin malam, saya menginap di kontrakan salah satu teman kuliah berinisial A---barengan dengan teman kuliah lain yang berinisial T. Ya, pendeknya, semacam sleepover versi pas-pasan, gitchu. Layaknya mahasiswi tingkat empat (atau sebenarnya, wanita) pada umumnya, malam itu kami membicarakan banyak hal, mulai dari pelajaran, dosen, perkembangan gosip di hiburan tanah air, cinta, hingga pernikahan.

Deg.

Pernikahan, sewaktu mendengar kata ini, pikiran saya sesaat melompat ke beberapa tahapan ke depan. Jujur, dulu saya paling semangat jika diajak bicara soal pernikahan. Saya bayangkan, sungguh bahagianya, membangun keluarga cepat-cepat dan menjadi seorang Ibu dalam hubungan yang sah. Sayangnya, semakin ke sini, persepsi idaman saya itu semakin terasa hambar---luntur---lalu titik terang itu seolah memukul saya pelan-pelan---cukup pelan untuk tidak menimbulkan pikiran larut yang membuat malam sleepover saya mendadak kusut---tapi tetap saja, di pagi harinya, saya kembali tersadar: tahun ini saya akan memasuki pengulangan dasawarsa yang kedua.

Saya rupanya sudah mulai tua.

****

Read more »

, ,

Tentang Masakan Ibu



(Ini kare Jepang buatan saya, dan jangan harap rasanya aman di lidah anda.)

Ketika saya bilang bahwa saya tumbuh dengan masakan Ibu, sungguh, saya tidak berbohong. Sejak kecil, saya jarang makan di luar---hanya sesekali jika ada kegiatan sampai sore di sekolah dan Ibu kebetulan sedang tak membawakan bekal. Jujur saja, saya baru sering jajan sejak kuliah. Itu pun, 'sering'-nya saya tidak sebanding dengan 'sering'-nya kawan kuliah lain. Ya wajar, sih, saya di Jogja toh ada rumah, ndak ngekos, ndak jauh dari orangtua, tapi tetap saja.

Tapi tetap saja.

Saya alergi, alergi segala macam makanan laut dan makanan sungai, itu sudah bukan rahasia. Setiap saya iseng jajan di luar, memesan satu porsi udang goreng tepung, takoyaki, sushi, ikan bakar, atau cumi asam manis, malamnya bintik-bintik merah panas nan gatal pasti mulai muncul di tangan kanan saya---pasti di sebelah kanan terlebih dahulu, entah apa sebabnya. Lucunya, lain kali, jika Ibu yang memasak segala macam makanan amis itu di rumah, saya tidak merasakan gejala alergi sedikit pun. Kalau pun ada, dibasmi sebutir CTM juga langsung sembuh. Saya ingat, dulu Ibu sampai pernah membuat empek-empek sendiri---pakai campuran udang, ayam, serta tengiri---agar saya tetap bisa menikmati kuliner asal Palembang itu tanpa harus berobat keesokan harinya.

Iya, saya dimanja. Iya, saya anak bungsu kesayangan keluarga---karenanya cara bicara saya kadang ngeselin, saya tahu (meski ada beberapa juga yang bilang itu unyu, he). Kakak saya bahkan pernah berkata begini sambil bercanda, "Kalau dulu kamu jadi kuliah di Teknik Geofisika ITB, nggak kebayang, lho, pasti kamu jadi kurus, terus alergimu gampang kambuh."

Lalu ketika saya pikir ulang, benar juga.

Saya rupanya, sekali dalam seumur hidup, memang tak salah ambil pilihan.

"Eh, tapi, gimana, kuliah di Teknik Kimia gampang atau susah?"

... Atau tidak sama sekali.

****

Read more »

,

Minggu Sedih




It was supposed to be me, dengan gaya rambut terbaru dan ekspresi wajah muram, namun saya menggambarnya terlalu cantik (yang mana sungguh ironis) lalu ini saya jadikan karakter lain sekalian.

***

Minggu ini minggu sedih, minggu melankolis.

Minggu lalu pun sebenarnya sama saja, dan kelihatannya minggu depan juga.

Tapi minggu ini saya menangis---air mata yang tertahan sudah dari empat belas hari lalu tumpah ruah, banjir, saya biarkan lepas, saya biarkan merdeka. Ada mungkin satu-dua jam saya menangis waktu itu, bersembunyi di bawah selimut MU tebal sembari menyengguk dan menggumamkan lenguhan lewat bahasa yang hanya mampu saya mengerti. Selanjutnya, kalau tidak lupa, saya tertidur, lama sekali. Ketika terjaga, yang saya rasakan pertama-tama adalah lega yang luar biasa. Lega yang, anda paham, seakan ditarik naik melewati pangkal ubun-ubun bersama akar-akarnya hingga tak lagi meninggalkan sisa---namun hal ini sayangnya tidak berlangsung lama.

Sebab sekonyong-konyong, dua pasang mata saya kembali berair---sebab pada akhirnya, saya tetap saja seorang wanita.

Read more »

, ,

Percakapan dari Antah Berantah





(Cette jolie doodle of mine.)

Jika boleh berbicara blak-blakan, jujur saja, saya ini orangnya terbilang lambat, baik itu soal berpikir, menangkap informasi, mengambil keputusan, dan melakukan tindakan. Saya bukan seorang genius, maaf saja. Bahkan jika semesta ini tiba-tiba berubah menjadi segepok buku atau film dokumenter, saya mungkin hanya salah satu dari beberapa milyar kepala yang tak pernah disebutkan namanya dan tak pula disorot wajahnya. Tidak, tidak, saya tidak sedang berusaha menjadi sesosok emo di sini, sebab saya mengatakan hal yang sebenarnya. Saya adalah gadis biasa dengan pola pikir biasa dan kehidupan biasa, sesederhana itu saja sebenarnya. Satu-satunya hal yang tak menjadikan saya biasa barangkali adalah ketidakmengertian saya yang, lucunya, kian hari kian menjadi.

Well, kehidupan ini saja sebenarnya masih merupakan misteri---siapa yang dapat menyangkal, coba angkat tangan.

.

.

.

Oh, tangan saya terangkat sendiri, maafkan saya lagi.

****

Read more »

, ,

Countdown: 15 Lagu Muse Terbaik Versi Saya




Belakangan, lagi kumat (ndak tahu untuk yang keberapa kalinya) dengerin lagu lama yang sempat saya sukai semasa rentang SMP dan SMA, di antaranya adalah hampir semua lagu yang dinyanyikan James Morrison, hampir semua lagu yang dinyanyikan SIOEN, hampir semua lagu yang dinyanyikan Frau, hampir semua lagu yang dinyanyikan Panic! at The Disco, hampir semua... ah, tidak akan habis jika saya menyebutnya satu per satu, hanya saja saya ingin memberi highlight untuk group-band beraliran Brit-pop asal Inggris yang sudah setia menemani saya selama lebih dari 6 tahun belakangan.

Yap, dari judulnya saja sudah dapat diterka, sih.

Muse, begitulah band yang digawangi Matthew Bellamy, Christopher Wolstenholme, dan Dominic Howard itu disebut. Meski mereka sudah mulai aktif sejak tahun 1994, namun jujur saja, saya baru mengenal mereka kira-kira pertengahan kelas satu atau kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Itu pun, saya tahunya dari seorang teman sekelas yang dengan sumringah menunjukkan lagu Unintended kepada saya dan beberapa kawan lain. Prolog semulus ini lantas tidak langsung membuat saya jatuh cinta dengan karya mereka. Tidak. Bahkan, sebenarnya, saya mulanya merasa bahwa permainan bermusik mereka sangat aneh, susah diterima. Hm, walaupun umur segitu saya sudah mendengarkan Coldplay, dan dua grup ini sama-sama mengusung tema Brit-pop, tapi musikalisasi Coldplay yang cenderung soft (inspirasional tepatnya) dibandingkan dengan gaya permainan Muse yang sedikit-banyak dipengaruhi unsur nge-rock, memang lebih mudah diterima---apalagi oleh perempuan muda berusia empat belas tahun seusia saya kala itu.

Fortunately, nasib saya lalu mengatakan lain (opo lho Ay), dengan dilirisnya single Starlight pada September 2006, saya mulai membuka mata dan memberi karya-karya Muse kesempatan kedua. Hasilnya, not bad at all---satu tahun pertama, saya lumayan sering memutar lagu mereka untuk teman bersantai; tahun selanjutnya, saya memasuki tahap keranjingan dan ketagihan; tahun berganti tahun, hingga sekarang, sedikitnya ada satu lagu Muse yang mesti saya putar dalam sehari, biasanya dalam perjalanan pergi dan pulang kampus. Nah, berbekal dari latar belakang yang sejujurnya tidak menarik diceritakan ini, saya ingin membagi 15 lagu Muse terbaik versi saya dalam konsep hitungan mundur. Sebelumnya, seperti postingan countdown saya yang sudah-sudah, saya tekankan bahwa ini murni opini yang biased, jadi jangan heran dan kecewa jika terdapat perbedaan di mana-mana :)

Let's check it out!



****

Read more »

, , ,

Ephemera, Ephemera



(My unfinished drawing, terlalu malas untuk mewarnai.)

****

Saya menamai gambar di atas "Rachet". Ya, rachet, alias ugly, alias jelek---makanya saya malas menyelesaikannya, karena sesuai judulnya, belum apa-apa saja saya sudah menggambarnya dengan buruk rupa. Warna yang nggak nge-bland, gambar asal-asalan yang dibuat secara iseng di laptop tanpa bantuan mouse (sebab saya terlalu malas untuk mencari dan memasangnya---lagipula, saya juga sudah terlanjur terlampau-intimate-dengan-kasur serta kehangatannya), didukung ekspresi wajah si gadis yang nggak karuan...

Kadang saya merasa jahat, lho, sering melahirkan banyak gambar di atas kertas, dinding, kanvas, hingga software, namun hampir tak pernah menyelesaikannya, membiarkan mereka tetap ada sebagai gambar yang tak perlu dipandang banyak orang. Baru beberapa detik lalu, terbesit pikiran (atau sentilan) di otak saya yang kira-kira begini: jika gambar-gambar Rudy Tabootie hidup bahagia di dunia kapur, mungkin karya-karya saya juga hidup di suatu dunia lain-dimensi. Bedanya, mereka tak hidup bahagia.

Alih-alih seperti apa yang divisualisasikan pada ChalkZone, gambar-gambar bikinan saya itu barangkali sibuk berunjuk rasa. Hmmm.

Menuntut saya.

****

Read more »

, ,

Suatu Malam, Monster di Kolong Tempat Tidur Saya Berdansa


(gambar diambil dari sini)

Read more »

,

Saya dan Yogyakarta


Credit: foto diambil dari sini sini

Tadi malam saya bermimpi, mimpi yang pecah-pecah dan tak beraturan. Dalam mimpi itu, saya kembali berusia delapan tahun---rambut saya masih panjang tergerai, ikal mayang, jatuh di sekitar pinggang---setengah terjaga setengah tidak. Udara pagi terjerat oleh bulu hidung saya yang kala itu tak seberapa lebat, menggelitik manja. Saya berada di ruangan tiga kali tiga meter dengan posisi tergeletak, sebelah tangan dikepalkan ke atas entah untuk apa, sebelah kaki menekuk tak sengaja. Sejurus kemudian, semesta saya hening---kemudian, bak film klise hitam putih, masa kanak-kanak saya berurutan diputar. Saya tak sempat mencegahnya.

Selalu ada ruang sisa di memori dan hati saya untuk Pekanbaru dan segala sudut kecilnya: sate padang khas Pariaman yang selalu lewat setelah Magrib, sekolah dasar negeri berlabel 007 khas James Bond yang cukup ditempuh sepuluh menit berjalan kaki (dengan jangka telapak kaki anak-anak pada umumnya), komik hantu Petruk berharga Rp 500,00 yang mesti dibeli dan dibaca sembunyi-sembunyi, kerupuk kuah pedas, bakso tusuk, lapangan angker di seberang kompleks sekolah, es tebu, logat pencampuran Melayu-Minang yang sempat saya kuasai, permainan lompat tali, jembatan Leighton menuju area perumahan Caltex tempat Mas pertama kali bekerja, dan sebagainya. Well, well, saya pindah ke Yogyakarta sekitar usia 10 tahun---hidup selama 8-9 tahun sebagai anak-anak di pinggiran Pekanbaru membuat saya tak mampu lepas begitu saja dari nuansanya yang selalu menenangkan---dan tentu, layaknya manusia normal, saya juga mengalami kesusahan dalam menyesuaikan diri. Saya yang tadinya percaya diri dan selalu mengangkat wajah tinggi-tinggi, mendadak berubah menjadi anak pemalu yang selalu menunduk setiap kali berpapasan (atau bertatapan) dengan orang lain. Lama-kelamaan, hal ini semacam menjelma kebiasaan---menundukkan muka atau melongo ke mana saja saat mesti berhadapan dengan lawan bicara, terutama laki-laki---dan saya akhirnya tumbuh menjadi 'saya' yang kini kalian kenal. Yep, not bad, not bad at all.

Tapi, pada akhirnya, saya dapat pula menyesuaikan diri dengan Jogja dan segala keistimewaannya. Sebelum saya sempat memutar mata kembali untuk mengecek hal apa saja yang telah saya alami di sini, saya baru sadar bahwa, di luar kuasa saya, rupanya saya telah jatuh cinta.

Mungkin cinta buta, mungkin juga cinta yang tak mengisyaratkan apa-apa.

Read more »

,

Garis Tipis Antara Ada dan Ketiadaan

“I think there should be a rule that everyone in the world should get a standing ovation at least once in their lives.” ― R.J. Palacio, dalam bukunya, Wonder

Tadi malam, tepatnya pukul 23.53 WIB (atau sekitar itu) saya mendengar kokok ayam jantan, sayup-sayup, bersahut-sahutan. Saya, seperti biasa, terjaga seorang diri, tangan kanan sibuk menulis huruf-huruf acakadut atas soal essay responsi tahun lalu, tangan kiri sibuk menjamah ke mana-mana, bergerak lasak. Kokok ayam jantan di tengah malam memang bukanlah hal yang terlalu aneh, seandainya saja saya tidak sepenuhnya sadar bahwa di perumahan tempat saya tinggal, keberadaan hewan bertaji itu nihil. Saya pikir, mungkin suara itu berasal dari desa di seberang sawah belakang---mungkin saja makhluk yang enak jika digoreng tepung lantas disajikan panas-panas itu tengah melakukan rapat rahasia di malam hari dalam bahasa mereka sendiri, semacam gerilya yang tak lagi diam-diam, membahas rencana rahasia soal pembalasan dendam terhadap manusia dan antek-anteknya.

Oke, sampai di sini, kalian boleh berkata, "Jangan bercanda, mana ada hal yang seperti itu!"

Tapi siapa yang tahu, siapa yang mengira.
****

Read more »

Popular Posts

Nihayatun Ni'mah, 2013. Powered by Blogger.

Followers